Apai dan Hikayat Janggut Panjangnya

Apai Janggut, tuai rumah Sungai Utik, Iban, tacit knowledge

Apai Jangut baca buku 101 Tokoh Dayak jilid 2 yang ada profil dirinya di halaman 24.

Bandi Anak Ragae. Itu asli namanya. Dari sisi nama, ia mewariskan tradisi kaum Iban. Yang selalu menyebut seseorang anak dari ayah siapa? Ragae adalah nama ayah yang menurunkan lelaki pendekar lingkungan dari ranah Iban, Sungai Utik, Kapuas Hulu ini.

"Apai Janggut" lelaki dengan jenggot putih itu kerap disapa. Ia tuai rumah Sungai Utik, Kecamatan Embaloh, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat.

Baca https://www.bordernews.id/2023/04/rumah-panyai-orang-iban.html

Di Kalbar umumnya, khususnya di Sintang dan Kapuas Hulu, hampir semua orang mengenal “Apai Janggut”. Disapa demikian, lantaran ciri khasnya yang memelihara janggut putih hingga dada. Menurutnya, hal itu atas maklumat dari Kumang, salah satu  leluhur yang dihormati kaum Iban.

Ia pelestari hutan adat di sana, sekaligus pelesteri seni budaya. Ia selalu diminta baik oleh Keling Kumang Grup maupun masyarakat setempat untuk “melihat” tanda-tanda alam. Apakah sebuah bangunan tepat didirikan di suatu tempat, kapan didirikan, kapan mengadakan upacara adat dan budaya.




Untuk mendirikan sepasang patung tinggi besar dengan bobot lebih dari satu kuintal di Tapang Sambas, Sekadau misalnya, Apai Janggut turun tangan. Setelah berjam-jam belum juga berdiri  dengan diikat tali tambang, Apai Janggut menyarankan menariknya menggunakan tepus (zingiber spectabile). Dalam sekejap, berdirikan kedua patung itu.

Di tengah-tengah semakin tergerusnya seni budaya Dayak oleh modernisasi dan berbagai kepentingan ekonomi atas nama pembangunan, rumah panjang atau dalam bahasa Ibaniknya “rumah panjai”, bangunan tradisional khas Dayak yang mencerminkan kehidupan komunal dan gotong royong, pun semakin langka.

Kini, rumah panjang di Kalimantan dapat dihitung jumlahnya dengan jari. Salah satunya, rumah panjang Sungai Utik. Letaknya di pinggir sungai Embaloh. Seperti zaman baheula, rumah bulai, rumah rakyat, yang memang dibangun di tepi sungai untuk memudahkan berbagai kepentingan. Selain transportasi, sungai pada waktu itu multifungsi. Antara lain, untuk mandi, cuci, sekaligius kakus. Namun, dirancang sedemikian rupa, agar masing-masing fungsi berjalan alami.

Di usia 86 tahun, Apai Janggut gagah perkasa. Sisa-sisa ganteng dan keperkasaan, masih tergores di wajah dan sekujur tubuhnya yang seperti tak kenal rapuh.

Ia bertato dengan motif bunga terong, yang dalam tradisi Iban menyimbolkan kepemimpinan.

Keturunan Keling Kumang generasi 8 ini pun lancar berkisah ihwal sejarah masa lalu, sebuah imperium kaum Ibanik yang diperintah oleh Keling Kumang yang dikenal dengan “Buah Main”. Ditengarai, kerajaan Buah Main terbentang dari Sekadau, Ketungau, Mungguk Bejuah, Hutan Berangan Semitau Tua, hingga ke Batak Lupar, kemudian Sri Aman.

Dalam talkshow di RRI Pro1 Sintang, Bandi membeberkan bahwa kaum Ibanik di bawah Keling Kumang hidup rukun dan makmur. Hal itu, tak lain, karena suri teladan yang diberikan pemimpinnya. Selain itu, prinsip “Betungkat ke adat basa, bepegai ke pengatur pekara” yang berarti: menjunjung tinggi hukum adat, berpegang pada pengatur perkara (tetua adat), dipegang teguh dan dilaksanakan saksama.

“Semangat Keling Kumang harus dipelihara dan dijunjung tinggi. Salah satunya, menjunjung hukum adat dan taat pada tetua,” tegas Bandi. Selain tuai rumah, ia juga dikenal sebagai aktivis dalam hal pelestarian hutan. Tak pandang usianya sudah lewat delapan dasawarsa, dengan jenggot panjang yang kian putih, ia terus berusaha menjaga adat dan tradisi.

Perjuangan Apai Jangut dan masyaraka adat Sungai Utik  mempertahankan hutan sangat luar biasa, terutama adanya kepemimpinan yang kuat dari Apai dan komitmen masyarakat untuk turut menjaga hutan. Ini merupakan hal yang unik, karena seringkali masyarakat adat terpecah. Yang terjadi adalah bahkan kepala desa atau kepala adat menjual lahan ke perusahaan karena kebutuhan ekonomi. Inilah yang menjadidasar Yani Saloh mengusulkan Apai Janggut masuk nominasi penerima Equator Prize 2019.

“Saya memasukkan Sungai Utik ke Equator dan Kalpataru lebih kepada personal interest, karena melihat perjuangan mereka dan komitment menjaga hutan yang luar biasa,” terang Saloh. Yani Saloh yang membuat Submission The Equator Prize 2019 dan kemudian mendampingi Apai Janggut menerimanya di Amerika.

Penghargaan Equator Prize dari PBB adalah ujud pengakuan Pengakuan Nilai Budaya Dayak Iban Sungai Utik yang dipelopori oleh Apai Janggut.  Sebagai tuai rumah (kepala di lingkungan sekitar Sungai Utik), masyarakat setempat berhasil menjaga wilayah dari ancaman perambahan dan ekspansi industri.

Konsepnya ihwal hutan lestari sederhana, tapi sarat makna. Hal itu tersurat dalam tulisan di latar yang bukan sekadar menghiasi lukisan dirinya:
Kami tidak minta lebih dan tidak mau kurang
selama di hutan masih ditemukan buruan dan obat
di lubuk masih ada ikan
dan di huma masih berpadi
itulah lestari (Apai Janggut)


Tacit Knowledge
 Apai Janggut
Hari-hari terakhir ini, sebagai bangsa, kita ramai mendiskusikan pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Syahdan, menurut sang Menteri, saat ini kita tengah memasuki era kompetensi, bukan lagi gelar.

Pro dan kontra pun membahana, viral di mana-mana, utamanya media sosial. Sebagai sebuah peristiwa yang mengandung nilai berita, kita menangkap pernyataan itu sebagai “belum lengkap”, lepas dari konteks. Itu memang kerjaan orang media, bagaimana secara teori "to spoon" menyendok dan mengambil sepotong saja kata dan peristiwa, untuk diolah jadi komoditas. Hal yang oleh Cirrino (1971) disebut sebagai "bias media". Sehingga kita perlu mengkritisinya, dan menempatkannya dalam sebuah konteks.

Kiranya yang dimaksudkan Sang Menteri, “Bukan hanya gelar yang penting, melainkan juga kompetensi.” Hanya gabungan keduanya, menjadikan seseorang hebat luar biasa. Mengapa demikian?

Jawabannya nanti ada pada diagram, yang menyatakan bahwa sesungguhnya tacit knowledge, sekolah kehidupan, itu yang memberi kontribusi 95% pada pengetahuan sebagai bekal hidup seseorang. Sisanya, 5% adalah pengetahuan eksplisit, yang didapat di bangku sekolah dan kuliah.

Dalam hal tacit knowledge ini, Mendikbud Makarim benar. Demikianlah Apai Janggut dapat diponir, atau ditempatkan, ke dalam sebuah diagram. Maka jangan anggap kecil orang kecil yang tidak berpendidikan formal. Mengapa? Sebab ia memiliki pengetahuan tacit, yang bisa saja –secara kompetensi di bidangnnya—melebihi seorang sarjana sekalipun, atau seorang profesor yang pakar di bidangnya hingga tak selembar pun menyisakan rambut di kepalanya.

Dari lata Latin “tacere”, orang ketiga tunggalnya “tacit”, per makna kamus berarti: diam, tidak berbicara (Kamus Latin Indonesia, 847).Yang dimaksudkan, sudah barang tentu, bukan diam dalam arti harfiah, kelu, atau tidak berbicara sama sekali.

Pengetahuan tacit itu adalah pengetahuan yang didapat bukan di bangku sekolah atau kuliah, dari proses belajar-mengajar formal antara guru-murid. Akan tetapi, pengetahuan tacit yang didapat seorang pembelajar-serius melalui serangkaian: pengalaman, pemikiran, kompetensi, dan komitmen. Diolah sedemikian rupa, melalui proses dialektika layaknya ilmu dan teori, menjadi pengetahuan dan kompetensi yang bersistem dan bermetodologi. Dapat ikatakan, seorang yang memiliki pengetahuan tacit bahkan sudah sampai pada aras menemukan dan membangun teorinya sendiri.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa temui dan saksikan tokoh yang berpengetahuan tacit luar biasa. Katakanlah sebagai misal Adam Malik (1917-1984) yang kita kagumi sebagai sosok otodidak. Menjabat menteri beberapa kali, hingga menjadi wakil Presiden RI (1978-1983). Juga Mochtar Lubis, seorang pembelajar-sejati dengan pemikiran dan pengalaman luar biasa, seorang antropolog Indonesia yang luar biasa yang mengidentifikasi ciri-ciri orang Indonesia dan diakui sebagai temuan yang belum ada tandingannya. Termasuk dalam tingkatan "dewa", tokoh Indonesia yang berpengetahuan tacit ini adalah Soedjatmoko, Ayip Rosidi, dan Bob Sadino --siapa mereka? Anda bisa menelusurinya sendiri.

Nah, di sanalah Apai Janggut kompeten melelibi siapa pun. Terutama di bidang: budaya, bahasa (jako dalam), sastra, purih (silsilah dan sejarah suku bangsa Iban), ensera (cerita epos), keanekaragaman hayati, kecerdasan natural, kecerdasan kinestetik (ilmu bela diri dan seni perang), kecerdasan inter dan intra-personal, kecerdasan verbal dan linguistik, dan masih banyak lagi.

Hiyakat  Jenggot
Lalu mengapa "Bujang Tuai" ini memelihara jenggot? Sudah berapa lama?

"Suatu malam, saya mimpi. Dalam mimpi itu, saya bertemu dengan Kumang. Kumang yang menyuruh saya memelihara janggut ini," kisahnya, sembari mengelus tanda kebijaksanaan itu.

Baca https://www.bordernews.id/2023/04/blog-post.html

Orang Iban zaman dahulu kala tidak mengenal epos, ataupun membaca mitologi, apalagi filsafat Yunani kuna. Atau pustaka beraksara Latin di alam Romawi kuna. Sehingga kisah tentang jenggot Bandi dan penuturannya, sungguh asli.

Jenggot Apai, sungguh mantap: Wasiat Kumang.

LihatTutupKomentar
Cancel