Gawai Dayak

gawai, Dayak, Allah, sumber hidup, liturgi, Gereja, Katolik

  • Gaya Gawai Dayak.

Teks: Gregorius Nyaming, Kontributor BORDER NEWSdi Polandia

Padi. Sesuatu yang sungguh sangat tidak asing bagi kita orang Dayak. Terkhusus bagi para peladang Dayak, keberadaan padi berkaitan langsung dengan kehidupan itu sendiri. Di mana ada padi, di situ ada kehidupan.

Mengingat keberadaannya yang begitu amat penting, padi diperlakukan dengan penuh hormat dan beradat oleh kita orang Dayak. Mulai dari menanam (nugal) sampai dengan memanen ada ragam ritual adat yang secara khusus diperuntukkan untuk padi. 

Dan puncaknya adalah pesta tutup tahun (Gawai Dayak). Saat di mana kita orang Dayak mensyukuri hasil panen yang kita peroleh.

Rasa syukur itu kita panjatkan kepada Sang Sumber Hidup dan Cinta, yang tak lain ialah Allah sendiri. Artikel ini saya beri judul “Pada Allah ada Hidup dan Cinta”, yang kemudian saya singkat menjadi “PADI”. Harapannya ialah agar pemaknaan kita atas keberadaan padi yang terungkap lewat Gawai Dayak harus sampai kepada Dia, yang dari-Nya hidup kita berasal. Kepada Dia yang selalu mencurahkan kasih-Nya kepada kita umat-Nya.

Dengan pemaknaan yang demikian, maka Gawai Dayak tidak berhenti hanya sebatas seremonial belaka, tapi sungguh menjadi momen untuk semakin memperdalam iman kita kepada Allah, Sang Cinta dan Sumber Hidup. Dan karena kita beriman kepada Dia yang memberikan hidup dan senantiasa mencintai kita umat-Nya, maka dengan merayakan Gawai Dayak kita juga diharapkan hidup saling menghormati dan mengasihi sesama sebagai makhluk yang diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej 1:27).

Allah Sang Sumber Hidup dan Cinta
Dalam konteks penghayatan keagamaan kita orang Dayak, iman akan Allah sebagai Sang Cinta dan Sumber Hidup kita nyatakan dengan sangat benderang dalam prinsip hidup: Basengat Ka’ Jubata (bernapaskan Tuhan yang mahakuasa). Lewat prinsip hidup ini, kita manusia Dayak sungguh meyakini kalau napas hidup kita berasal dari Tuhan sendiri. Karena napas hidup berasal dari Tuhan, maka itu artinya hidup kita sepenuhnya bergantung kepada-Nya sebagai sang pemberi kehidupan.

Terhadap Sang Pemberi Kehidupan itu, kita orang Dayak menyebutnya dengan nama yang beraneka ragam: Petara Raja Juwata, Jubata, Duata, Penompa, Duataq, Duato, Tanangaan, Ranying Hatalla LangitOmpokng Soma, Paitara, Tamai Tingai, Ene’ Daniang, dan sebagainya.

Ragam sebutan ini tentu menarik untuk dikaji lebih lanjut. Yang jelas, berbedanya sebutan nama kepada Wujud Tertinggi bukan pertama-tama mau menunjukkan superioritas nama yang satu atas yang lain. 

Kita meyakini Yang Ilahi itu hadir pada pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar dan tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan. Maka dari itu alam harus dihormati. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.

Bila perkara superioritas yang kita kedepankan, sikap saling memandang rendah sesama suku Dayak sudah pasti sulit untuk terhindarkan. Sebab, setiap suku akan mengklaim nama bagi Wujud Tertinggi dalam sukunya adalah yang paling indah, paling bagus dan paling paling lainnya.

Baca Indonesian Youth Day 2023

Sikap demikian memang tidak seharusnya hidup dan berkembang. Namun sayangnya, bila kita melihat kembali sejarah kita orang Dayak, sikap itu pernah hidup saat di mana kita sesama orang Dayak saling berperang dan membunuh (tradisi ngayau).

Mgr. Samuel Oton Sidin, OFMCap, dalam homilinya saat memimpin Misa Malam Natal 2022 di Gereja Katedral Sintang, menyebut masa ini sebagai saat di mana orang Dayak masih hidup dalam kegelapan. Masuknya kekristenan – yang ditandai juga dengan peristiwa Tumbang Anoi – membawa pembebasan bagi orang Dayak. Seperti orang-orang Bijak dari Timur, sesudah bertemu dengan Yesus, kita tidak lagi menjalani hidup dengan cara lama, tetapi dengan cara yang baru, menjadi manusia baru.

Saya sendiri menyebut masa-masa ini sebagai fase di mana penghayatan kita kepada Petara Raja Juwata, Jubata, dst sebagai Sang Cinta dan Sumber Hidup berada pada fase yang sungguh memprihatinkan. Saya ada menyinggung soal ini dalam tulisan yang lain saat saya merefleksikan Masa Prapaskah dalam konteks hidup kita orang Dayak.

Kembali kepada ragam sebutan di atas. Keragaman ini mesti ditempatkan dalam konteks pengalaman penghayatan keagamaan orang Dayak. 

Di dalam model penghayatan ini, ketuhanan dihayati bukan melalui sebuah ajaran eksplisit (seperti dalam agama besar), melainkan dalam kenyataan setiap hari, dengan kepercayaan­-kepercayaan, mitos-mitos yang diceriterakan, ritus-ritus, doa-doa, dan pelbagai kebiasaan lain.

Lewat cara penghayatan yang demikian, yakni melalui sesaji, ritus, dan doa-doa, dengan memperhatikan pelbagai pan­tangan, dan dengan mengatur seluruh cara hidup dalam kesesuaian dengan kepcecayaan bersama, orang berusaha untuk hidup dengan aman (Franz Magnis-Suseno, 2006: 27-28).

Doa permohonan yang tertuang dalam lagu Jubata kiranya mau mengungkapkan usaha manusia tersebut:

Ka’ kita Jubata,
Kami Bapadah
Ka’ kita Jubata,
Kami Bapinta
Iring Langkah Kami
Oh Jubata Biar Salamat

Penghayatan keagamaan ini juga mau memperlihatkan sebuah kekhasan, yakni bahwa tidak ada pemisahan antara alam dan Yang Ilahi. Bagi kita orang Dayak, alam itu memiliki “roh”, “jiwa” tertentu yang memberikan kehidupan kepada manusia.

Kita meyakini Yang Ilahi itu hadir pada pohon-pohon besar, sungai, batu-batu besar dan tempat-tempat tertentu yang dikeramatkan. Maka dari itu alam harus dihormati. Rasa hormat diungkapkan dengan sikap dan tutur kata yang sopan dan santun, serta lewat upacara atau ritual adat.

Bahwa Yang Ilahi hadir pada pohon-pohon besar, sungai dan sebagainya hendak menggarisbawahi bahwa dalam penghayatan keagamaan ini, kearifan lokal yang memiliki karakter lekat dengan locus (tempat), tidak sekadar mengatakan sudut pandang geografis.

Baca Ladang Orang Dayak

Sebuah tempat tinggal yang berupa dataran atau pegunungan atau pinggiran pantai, atau pinggiran hutan atau sawah, bukan hanya perkara geografis, melainkan mengurai suatu kebijaksanaan khas. Kebijaksanaan berupa produk relasionalitas manusia dengan alam tempat dia bertumbuh dan berkembang (bdk. Armada Riyanto et al., 2015:29).

Cinta Allah itu disyukuri dan dirayakan
Oleh kita orang Dayak, cinta Allah itu kita syukuri dan rayakan dalam Gawai Dayak. Gawai diadakan pertama-tama bertujuan untuk mengucap syukur dan terima kasih kepada Yang Kuasa yang selalu menyatakan pemeliharan-Nya atas hidup umat-Nya.

Para peladang mau bersyukur kepada Tuhan karena telah menganugerahkan alam sebagai tempat bagi mereka untuk berladang. Alam itu kemudian mereka olah dan dihasilkanlah padi beserta segala tanaman lainnya yang semuanya bermanfaat bagi kelangsungan hidup mereka. Hasil-hasil ladang inilah yang hendak mereka syukuri dalam gawai adat.

Ucapan syukur juga dihaturkan kepada Yang Kuasa atas penyertaan dan perlindungan-Nya selama mereka bekerja di ladang. Lewat rasa syukur ini, peladang ingin dengan tulus dan rendah hati mengakui kalau mereka tak akan mampu mengerjakan segala sesuatunya tanpa campur tangan dan perlindungan Tuhan.

Cinta Allah itu dibagikan
Hasil panen sebagai berkat dari cinta dan kemurahan hati Allah tidak pernah boleh dinikmati seorang diri saja. Berkat itu harus dibagikan dan dinikmati bersama dengan tetangga, sanak keluarga dan kerabat kenalan. Untuk tujuan inilah syukuran Gawai Dayak diadakan.

Berbagi berkat di hari Gawai tidak hanya sebentuk ungkapan syukur atas berkat yang sudah diterima dari Tuhan, tapi juga sebagai wujud doa agar Tuhan Yang Mahakasih senantiasa melimpahkan hasil ladang yang baik dan berlimpah di tahun-tahun berikutnya

Di sini menggema apa yang menjadi prinsip hidup bersama orang Dayak, yang dalam suku Dayak Desa dikenal dengan semboyan: kalau abis sama ampit/kalau abih sama baduk. Yang artinya kurang lebih: kalau habis sama-sama mendapat bagian/kalau habis sama-sama berhenti.

ebuah prinsip hidup yang mau mengajarkan betapa pentingnya berbagi dengan sesama. Dengan mau berbagi, maka ikatan kekeluargaan dan persaudaraan yang menjadi sumber kekuatan dalam hidup berkomunitas akan selalu terjaga.

Di tempatkan dalam prinsip hidup bersama itu pula, kita bisa memahami mengapa para tetamu yang bertandang (pengabang) tidak boleh menolak kemurahan hati tuan rumah. Jika mereka masuk ke sebuah rumah, sekalipun sudah merasa kenyang, mereka harus tetap posek/palitngomomalek/pusam/pelopas hidangan yang telah disiapkan.

Bahwa ada kepercayaan akan ada malapetaka atau bencana yang menimpa mereka yang menolaknya, tetap menjadi sebuah fenomena yang tentu saja harus diindahkan. Namun di balik tawaran untuk turut serta menikmati berkat Tuhan, sejatinya terkandung sebuah ajakan dari tuan rumah untuk mensyukuri hidup yang telah dianugerahkan oleh Yang Mahakuasa.

Disempurnakan oleh Gereja dalam Perayaan Liturgi
Ketika membaca kembali Buku Kenangan 50 Tahun Keuskupan Sintang (1961-2011), kenangan akan masa kanak-kanak kembali muncul dalam ingatan saat mata saya tertuju pada nama Pastor Kees Smit, SMM. Beliau adalah misionaris berkebangsaan Belanda. Datang di Indonesia pada tahun 1969. Dari tahun 1974-1995, beliau bertugas sebagai pastor paroki di paroki Lebang.

Pastor Smit dikenal sebagai pastor yang sangat akrab dengan umat dan sangat rajin turne ke kampung-kampung. Keakraban itu beliau ciptakan dengan ikut serta dalam berbagai aktivitas harian umat. Dan salah satu aktivitas yang kerap kali beliau ikuti ialah menanam padi (nugal) di ladang.

Apa yang dilakukan oleh Pastor Smit, ikut nugal di ladang umat, hingga hari ini masih dilakukan oleh para pastor yang berkarya di Keuskupan Sintang. Hal ini bisa terjadi mengingat sebagian besar masyarakat Dayak yang ada di Keuskupan Sintang, yang tersebar di 3 Kabupaten (Sintang, Melawi dan Kapuas Hulu) masih meneruskan tradisi berladang.

Karena itu bukan hal yang mengherankan bila musim berladang tiba, bukan hanya para peladang yang sibuk, para pelayan pastoral juga turut sibuk.

Kisah Pastor Smit dan para pastor yang berkarya di Keuskupan Sintang hendak menampilkan kehadiran Gereja Katolik di tengah suku Dayak. Secara khusus dalam kehidupan para peladang.

Melalui kehadirannya itu, Gereja mau mengingatkan umat kalau pesta tutup tahun ini bukanlah hanya sekadar untuk makan, minum, menari-nari, dll. Gereja mau mengajak umat untuk sungguh menyadari kalau hasil panen yang mereka terima merupakan anugerah dari Tuhan yang sudah sepatutnya mereka syukuri dan tidak untuk dinikmati seorang diri.

Oleh Gereja, rasa syukur itu diungkapkan dalam dan lewat perayaan liturgi. Secara khusus dengan menggelar Misa Syukuran Gawai Dayak. Mengapa mesti dirayakan dalam perayaan liturgi? Sebab liturgi adalah kenangan akan karya keselamatan Allah dalam sejarah umat manusia, juga sekaligus melalui liturgi Allah mengerjakan karya keselamatan-Nya, sehingga dengan merayakannya umat beriman memandang kehadiran serta karya Yang Ilahi.

Konsili Vatikan II dalam dokumen Konstitusi tentang Liturgi Suci (Sacrosanctum Concilium) no.10, menegaskan, “Liturgi itu puncak yang dituju oleh kegiatan Gereja, dan serta-merta sumber segala daya kekuatannya”. 

Akan tetapi, liturgi bukan hanya sebatas perayaan saja, melainkan dari perayaan liturgi diharapkan tumbuh kehendak untuk berbuat kebaikan. Dalam dokumen yang sama ditandaskan, “Liturgi mendorong umat beriman, supaya sesudah dipuaskan dengan sakramen-sakramen Paskah sehati-sejiwa dalam kasih, supaya mereka mengamalkan dalam hidup sehari-hari apa yang mereka peroleh dalam iman”.

Dalam perayaan misa syukuran ini biasanya juga secara simbolik diadakan pemberkatan atas benih padi dan alat-alat pertanian. Benih padi diberkati dengan harapan agar kelak ketika ditanam bisa menghasilkan buah yang baik. Sehingga hasil panen akan berlimpah ruah.

Sementara itu berkat dimohonkan atas alat-alat pertanian bukan bertujuan untuk menjadikannya sebagai jimat yang sakti, melainkan agar Tuhan berkenan memberkati dan melindungi saat mereka bekerja serta menggunakan alat-alat pertanian itu melulu demi kemuliaan-Nya saja.*)

Foto ilustrasi: Pekan Gawai Dayak IX Tingkat Kabupaten Sintang (Antaranews.com)

LihatTutupKomentar
Cancel