Sawit : Ketika Petani Tertahan Kaya

sawit, perang dagang, emas hijau, petani, salah kebijakan, salah penanganan

 



Sawit Indonesia pascatutup-buka kran Ekspor CPO, bagaimana? 

Para petani, akar rumput, menderita! Mereka terpaksa tertahan kaya. Jika sebelum terjadi peristiwa perang dagang sekaligus perang kepentingan awal tahun 2022 sawit tembus di harga rp4.000/kg Tandan Buah Segar (TBS), kini "hanya" Rp 1.650.

Sementara petani sawit negeri tetangga, Malaysia, yang pengelolaan tata niagarnya jempolan dan berpihak pada petani; pesta pora. Kita memang begini. Mengelola barang yang melimpah saja sarat kepentingan, apalagi mengelola barang yang langka.

Saat ini. Petani sawit terpaksa menahan keinginan untuk sementara belum kaya. Harga emas hijau ini masih belum stabil, apalagi kembali ke harga normal, seperti sebelum bulan Mei 2022.

Perubahan, akibat berbagai tarik-ulur kepentingan, telah dirasakan. Sawit, seperti diketahui, bukan saja in se komoditas industri, ia juga telah bermetamprfosis menjadi “alat politik”, terutama politik ekonomi dan bargaining.

Selain itu, sawit juga masuk isu internasional. Oleh sebab perannya yang amat vital, sawit jadi pesaing komoditas lain, seperti bunga matahari dan kacang kedele. Sekaligus sulit ditandingi dalam berbagai dimensi. Maka berembuslah isu deforestasi, selain post truth.

Seperti yang dialami. Harga tandan buah segar (TBS) sawit mendadak terjun bebas. Dari semula a rp 3.400 – rp 4.000/kg, menjadi hanya rp 600.

Boro-boro untung. Buntung, ya! Para petani sawit seluruh negeri berteriak. Kencang sekali. Tidak ada angin tidak ada hujan. Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo seperti tiba-tiba saja mengumumkan stop ekspor minyak sawit CPO. Widodo mengumumkan akan mencabut larangan ekspor minyak sawit mentah (CPO). Keputusan mulai berlaku pada 23 Mei 2022. Menurut Presiden Jokowi, Keputusan tersebut didasarkan pada fakta jumlah pasokan yang stabil serta harga minyak goreng yang mulai turun.

Malaysia, misalnya. Di tengah-tengah krisis akibat Pandemi Covid-19; menikmati sawit untuk kemakmuran negeri. Meski lahan dan produksinya jauh di bawah Indonesia, mungkin hanya 1/3 saja, tapi bukan main perhatian Negara (Pemerintah) menjamin warganya untuk tetap bisa menikmati kehadiran sawit ini.

Serta merta, setelah pengumuman keputusan itu, negeri ini menjadi riuh rendah. Hal itu menandakan bahwa sawit, sebagai komoditas industri, telah menyentuh seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Bukan hanya petani, pengumpul, pengusaha, dan eksportir saja; melainkan masalah seluruh bangsa.

Untuk sementara, dan hingga beberapa bulan semenjak Keputusan itu diberlakukan –harga TBS sawit di tingkat petani, masih belum ada tanda-tanda kenaikan. Tidak banyak beranjak. Begitu sulit rupanya untuk kembali normal. Adakah “permainan” di balik fenomena itu semua?

Keputusan Presiden memang pahit sekali. Namun, ada hikmah di baliknya. Kita seperti disadarkan pada fakta: siapa bermain di balik itu semua?

Mengurai “benang kusut” memang tidak mudah. Tapi memerlukan waktu lama, selain ketulusan, juga keberanian. Mengapa demikian? Hal itu karena sawit telah menjadi industri yang ampuh sebagai komoditas untuk alat politik ekonomi. Malaysia misalnya, di tengah-tengah krisis akibat Pandemi Covid-19; menikmati sawit untuk kemakmuran negeri. Meski lahan dan produksinya jauh di bawah Indonesia, mungkin hanya 1/3 saja, tapi bukan main perhatian Negara (Pemerintah) menjamin warganya untuk tetap bisa menikmati kehadiran sawit ini.

Pandemi Covid-19 sepertinya tidak berdampak pada permintaan minyak nabati, termasuk minyak sawit. Hal itu karena minyak nabati merupakan kebutuhan sehari-hari, baik itu sebagai bahan pokok untuk kebutuhan dapur, bahan pembersih atau bahan bakar terbarukan. Semua dibutuhkan dalam kehidupan banyak orang di seluruh dunia.

Fakta menunjukkan bahwa meningkatnya permintaan produk oleokimia telah menopang permintaan akan minyak nabati, termasuk minyak sawit. Turunan oleokimia seperti gliserin, lemak asam dan metil ester, merupakan bahan baku untuk sanitiser, deterjen dan sabun yang mengalami peningkatan permintaan karena kesadaran kebersihan yang lebih baik dan protokol kesehatan yang diamanatkan pemerintah.

Sejak awal pandemi Covid-19, Februari 2020. Telah terjadi pergeseran dari bisnis ke bisnis. Terjadi pergeseran konsumsi rumah tangga. Orang semakin banyak di rumah. Memasak dan makan  di rumah.

Sisi "manfaat" dari perubahan  itu adalah bahwa konsumen akan lebih sering mengganti minyak nabati. Perusahaan menjual kemasan yang lebih kecil kepada konsumen karena permintaan yang lebih rendah dari restoran seperti terjadi sebelum Pandemi. Bersamaan dengan itu, kebutuhan minyak nabati keluarga makin meningkat.

LihatTutupKomentar
Cancel