The Dayak Dilemma

Dayak, dilema, Tjilik Riwut, Kalimantan Memanggil

Panggilan tanah kelahiran.







The Malay Dilemma. Telah pun kita mafhum siapa penulisnya. Juga kandungan gizi menu yang ada di dalamnya. Baca https://www.bordernews.id/2023/04/the-malay-dilemma-relevansinya-dengan.html

Tentu buku itu tidak diniatkan menjawab semua perkara. Tapi setidak-tidaknya gagasan penulis yang dituangkan di dalamnya, abadi. "An idea lives on!" kata John F. Kennedy. Ya, ide tak ada matinya. Ia senantiasa berdinamika. Menggelinding dalam pusaran gelombang dialektika.

Hal senada, kecemasan mengenai etnisnya itu, mencuat di dalam dada Tjilik Riwut. Ia salah satu tokoh besar orang Dayak, bukan hanya di Indonesia, melainkan juga dunia. Selain pahlawan nasional, Riwut. juga penerjun hebat dunia. Tentang kiprahnya ini, akan dinarasikan pada tulisan yang berbeda.

Apakah yang menjadi dilema Dayak, terutama di Indonesia? 

Litani panjang dapat dibuat. Lalu diurutkan sesuai dengan skala prioritas pemecahan masalah. Namun, semuanya dapat disarikan sebagai berikut:

Dilema Dayak Indonesia adalah: antara menyerahkan tanah pusaka warisan leluhur ataukah tenggelam dalam pusaran arus perubahan sentral-Indonesia?

Apa yang hendak dikatakan, dengan sebelumnya kita bincangkan Dilema Melayu di Malaysia?

Tak ada maksud lain. Kecuali hanya ingin menegaskan. Sekali lagi. Lagi lagi sekali lagi. Bahwa pemikiran, yang diikat secara bulat dalam literasi seperti buku, luar biasa dahsyat dampaknya. Ia bergerak perlahan, mula-mulanya, seperti semut. Namun, pada akhirnya, ketika pemikiran itu menyebar, akan berpusar bagaikan angin di padang gurun. Solid melingkar.  Berputar-putar. Tanpa ada kekuatan luar bisa menghentikan gerak langkahnya hendak mengarah ke mana?

Demikianlah Tjilik Riwut. Kita patut menyebutnya sebagai literer. Pelopor literasi Dayak yang berpengaruh.

Tjilik Riwut. Dok. Istimewa.
Sosok yang meletakkan dasar literasi Dayak. Seorang yang menginspirasi, sekaligus memotivasi generasi literasi selanjutnya.

Pemikiran, juga kegelisahan, Tjilik Riwut tentang Kalimantan tertuang dalam dua buku Dayak dan Indonesia dan Kalimantan Membangun.

Orang cerdik cendikia menyebut kemampuan seseorang, yang tidak-biasa, memprediksi masa depan sebagai: futurolog. Seorang yang langka. Punya visi melihat apa yang bakal terjadi puluhan, bahkan berabad kemudian.

McLuhan salah satunya. Kemudian, yang sangat masyhur, adalah: Naisbitt.

Di ranah kita, Indonesia? Anda bisa cari sendiri, siapa? Saya hanya sebut di ranah Dayak saja. Salah satu, yang luar-biasa: Tjilik Riwut.

Puluhan tahun lalu. Tjilik Riwut telah menujumkan: Bahwa Dayak akan menjadi titik. Sentral Kalimantan. Bahkan, pusat perhatian Keindonesiaan, dan juga: dunia.

Di Paser Penajam, Kalimantan Timur. Pada 2021. Ramalan relasi dan dilema Dayak-Indonesia itu terbukti benar adanya! Baca https://www.bordernews.id/2023/04/ikn-dan-kecemasan-penduduk-asli_11.html

Dipetik dari kata Yunani, dilema telah diguna istilahnya sejak permulaan abad ke-16. Suatu istilah untuk menggambarkan bentuk argumen yang melibatkan pilihan antara alternatif yang sama-sama tidak menguntungkan. Aslinya bahasa Yunani dilēmma, dari di- (dua kali) + lēmma (premis).

JIka diindonesiakan, dilema adalah: buah simalakama. Tapi, istilah ini, terasa kuran keren dan intelek. Meski sama maknanya, yakni: kanan kiri racun semua. Tak ada madu. Jadi, beda sama sekali dengan: minus malum.

Apakah yang menjadi “dilema” Dayak di Indonesia? Riwut menyebut: tanah Dayak akan jadi silang sengketa. Karena itu, ia menulis buku lanjutan: Kalimantan Memanggil (Penerbit Endang, Djakarta, 1958.  Tebal: 404 halaman. Ukuran buku: 15 x 22,5 cm).

Dilema Dayak Indonesia adalah: antara menyerahkan tanah pusaka warisan leluhur, ataukah tenggelam dalam arus perubahan sentral-Indonesia?

Agar kita. Siapa saja. Dipanggil berbuat, meski kecil, sesuai vak dan talenta kita.

Literasi salah satunya. Dampak langsungnya tidak nyata. Tapi lihatlah buku Tjilik Riwut ini. Memanggil kembali kita semua untuk melakukan refleksi. Mawas diri. Lalu segera melakukan tindakan-aksi, sebagaimana dilakukan 4-M bersaudara, yakni "Sekolah Pulang". Setelah berhasil, dan memperoleh ilmu (pengetahuan dan keterampilan) sebanyak-banyaknya di negeri orang, kembali pulang membangun kampung sendiri. Lalu kampung menjadi sentra-sentra yang menggelindingkan berbagai aspek kehidupan. Bahkan, sebagaimana sering dikatakan Munaldus, salah seorang pendiri CU Keling Kumang, "Desa mengepung kota". Baca juga https://www.bordernews.id/2023/04/di-kuching-rat-puskhat-itu-digelat.html

Dalam hal ini, tepat dikatakan David Shenk. “Books are the opposite of television: They are slow, engaging, inspiring, intellect-rousing, and creativity-spurring”.

Buku. Ide. Literasi. Begitulah cara kerjanya! *)

LihatTutupKomentar
Cancel