Sawit sebagai Alat Politik Ekonomi

sawit, Indonesia, komoditas multiguna, alat politik ekonomi

Pantangan-pantangan Berdarmawisata di Kalimantan

Masri Sareb Putra

Penulis senior, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia

Tidak syak lagi. Semenjak "naik" daun mencapai harga rp 4.000/tandan buah segar (TBS), sawit di awal tahun 2023 mengalami turbulensi. 

Salah ucap dan salah tindak para pejabat di negeri ini, telah pun membuat carut marut komoditas emas hijau yang ternyata diakui multiguna ini. Kini harga sawit/ kg TBS di bawah rp 2.000. Di RAM sepanjang jalan Balai Sebut-Kembayan-Sosok-Sanggau, tertera harga: Rp 1.650.

Luar biasa perang dagang. Sekaligus perang politik ekonomi berbasis "emas hijau" ini. Selain juga perang kepentingan. Terutama telah masuk ke dalam percaturan-dunia antarbangsa. Yang oleh kaum cerdik cendikia disebut sebagai ranah perang intelektual, dengan terminologi "post truth". Suatu kajian yang nanti kita jadikan satu narasi tersendiri.

Saya banyak keliling negeri Pancasila.
Saya mengamati fenomena ini: Pabrik CPO kini bukan hanya milik perusahaan. Juga milik konsorsium petani mandiri. Bahkan ada investor mendirikan pabrik pengolahan sawit, tanpa memiliki lahan sawit. Hanya menampung sawit rakyat.

Pabrik CPO petani mandiri kian berjaya, bertebaran di mana-mana. Bukan hanya milik perusahaan saja. Fenomena ini akan makin mengemuka.

Ruang meeting siang itu di bilangan Jalan Sudirman, Jakarta, semarak. Jarak duduk kami dibatasi meja, tidak rapat, meski sedang rapat. Kami tetap taat. Disiplin mengikuti protokol kesehatan.

Sebuah pertemuan, sekaligus diskusi penting. Bersama Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian (2006-2011), Ketua Dewan Pembina Asosiasi Persatuan Petani Sawit Indonesia (POPSI), Ir. Gamal Nasir dan Prof. Dr. AB Susanto.

Topik diskusi kami tentang: Sawit untuk kemakmuran negeri. Bagaimana semua pihak menikmati komoditas yang di dunia ilmiah disebut “elaeis guineensis” ini. Terutama rakyat semakin menikmati kehadiran komoditas, yang terbukti daya tahannya terhadap Pademi Covid-19 itu.

Pandemi Covid-19 sepertinya tidak berdampak pada permintaan minyak nabati, termasuk minyak sawit. Hal itu karena minyak nabati merupakan kebutuhan sehari-hari, baik itu sebagai bahan pokok untuk kebutuhan dapur, bahan pembersih atau bahan bakar terbarukan. Semua dibutuhkan dalam kehidupan banyak orang di seluruh dunia.

Fakta menunjukkan bahwa meningkatnya permintaan produk oleokimia telah menopang permintaan akan minyak nabati, termasuk minyak sawit. Turunan oleokimia seperti gliserin, lemak asam dan metil ester, merupakan bahan baku untuk sanitiser, deterjen dan sabun yang mengalami peningkatan permintaan karena kesadaran kebersihan yang lebih baik dan protokol kesehatan yang diamanatkan pemerintah.

Seawal pandemi Covid-19, Februari 2020. Telah terjadi pergeseran dari bisnis ke bisnis. Terjadi pergeseran konsumsi rumah tangga. Orang semakin banyak di rumah. Memasak dan makan di rumah.

Sisi “manfaat” dari perubahan  itu adalah bahwa konsumen akan lebih sering mengganti minyak nabati. Perusahaan menjual kemasan yang lebih kecil kepada konsumen karena permintaan yang lebih rendah dari restoran seperti terjadi sebelum Pandemi. Bersamaan dengan itu, kebutuhan minyak nabati keluarga makin meningkat.

Amati kemasan yang kini berbeda dibanding sebelumnya. Camkan pula. Bagaimana pola konsumsi akan minyak goreng selama masa pandemi?

Konsumsi dalam negeri (Indonesia) itu berbanding lurus dengan hasil devisa dari sawit.

Akumulasi neraca perdagangan Indonesia periode Januari-Juli 2020 untuk sektor non-migas mengalami surplus USD 12.5 miliar. Sedangkan neraca migas minus US$ 3,8 miliar. Sedemikian rupa, sehingga neraca perdagangan  secara agregat mengalami surplus US$ 8,7 miliar. Hal yang mengagumkan bahwa dari  surplus non-migas tersebut, sekitar USD 11,9 miliar atau 95 persen berasal dari devisa sawit.

Devisa sawit menyumbangkan surplus non-migas tersebut. Andaikata bukan negara penghasil sawit, niscaya negeri kita mengalami defisit neraca perdagangan. Karena itu, tidak dapat dibayangkan jika tidak ada sawit. Sawit, tidak pelak, adalah penggerak lokomotif perekonomian nasional pada saat ini.

Devisa sawit Indonesia sebesar US$11,9 miliar tersebut setara dengan sekitar Rp 170 trilyun. Nilainya lebih dari dua kali lipat dana tindakan preventif sekaligus kuratif pandemi Covid dari APBN yang berjumlah Rp 75 triliun.

Devisa sawit tersebut dalam roda perekonomian nasional akan menambah permintaan aggregat. Sehingga menambah daya ungkit konsumsi maupun investasi.

Fakta bicara.
Nah! Say "Yes" to Sawit.

LihatTutupKomentar
Cancel