Komang dan Ilmu Padi

Sastra, Komang, ilmu padi

 

Kabar mengenai Desa Merapi yang subur dan rakyat yang makmur, terbetik juga hingga Pulau Dewata….

“Jangan ke sana, Komang!” pinta seorang lelaki yang hampir renta. “Jangan tinggal ayah seorang diri.”

“Nanda segera kembali, pabila sudah memiliki ilmu padi itu!” jawab anak gadis bernama lengkap Neha Komang. Kedua ayah dan anak itu diam. Mereka saling pandang.

“Ayah tahu, menemukan ilmu padi adalah tugasmu. Untuk itulah kamu dilahirkan di sebuah pondok, di tengah-tengah sawah.”

Ayah mengisahkan, waktu Komang dalam kandungan ibu, sepasang suami istri yang lama menikah tapi baru dikaruniai kehamilan itu sedang mengerjakan sawah. 

Sang suami mencangkul dan menghaluskan tanah, seementara istrinya menanam padi. Ketika itulah ibu yang hamil tua itu merasa mulas. Tanpa bisa ditahan lagi, ia jatuh dekat pematang sawah. Suaminya buru-buru menolong, lalu membopongnya ke pondok.

Diliputi oleh rasa panik, sang suami hanya menyaksikan saja bagaimana istrinya merintih kesakitan, bergulat dengan maut. Ritihan disertai dengan helaan napas panjang yang kadang tak teratur. Akhirnya, terdengar suara tangis seorang bayi.”Hoa… hoa… hoaa…”

Bersamaan dengan lahirnya seorang bayi perempuan mungil, kondisi ibu makin lemah karena terlalu banyak mengeluarkan darah.

“Titip jaga dan pelihara bayi ini,” pesan sang ibu, terbata-bata. Napasnya tersengal. “Jika nanti besar, ia akan mengembara, mencari ilmu. Lalu kembali ne Bali dan mengajarkan penduduk bercocok tanam agar panen padi melimpah.”

Bayi selamat, tapi nyawa ibu tak tertolong.

“Atas pertistiwa itu, ayah menamaimu ‘Neha’ yang artinya: cinta,” terang ayah.

Neha Komang manggut-manggut. Tak terasa, air matanya berlinang. Betapa besar cinta seorang ibu pada anaknya, sampai mengorbankan nyawanya. Tiba-tiba Komang merasa rindu pada biang[1] yang melahirkannya. Namun, hingga menginjak dewasa, ia tidak pernah melihat sosok ibu.

“Izinkan Komang pergi, ayah!” kata anak gadis itu sekali lagi.

Merasa terikat oleh nazar, dengan berat hati lelaki setengah renta itu merelakan anak gadisnya mengembara….

Maka berangkatlah Komang meninggalkan desanya nan asri dan permai mencari ilmu padi. Tapi ke mana gerangan? Dari pondok dekat pematang sawah kaki gunung itu ia mengembara dengan berjalan kaki. Namun, tanpa terasa, ia sampai di Gilimanuk. Hutan belantara dan kayu-kayuan masih menaungi tempat itu.

“Mau ke mana?” cegat segerombolan pemuda. Mereka muncul tiba-tiba begitu saja. Ada yang dari balik semak-semak. Ada yang dari dahan dan balik pohon. Dari parasnya, mereka seperti penyamun.

“Kalian tak perlu tahu. Ke mana itu urusanku!” jawab Komang.

“Lancang sekali. Ehm, ayo!” gertak salah seorang. Sepertinya ia kepala para penyamun. Memberi kode agar teman-temanya mengepung dan menangkap gadis itu.

“Izinkan saya lewat,” pinta Komang dengan sopan. Alih-alih memberi jalan, gadis itu malah diserang. “Ciat, ciat! Hush, hua, hua!”

“Sekali lagi, tuan-tuan. Izinkan saya lewat.”

“Mengizinkanmu lewat?”

“Terlalu sayang gadis manis ini dilewati,” kata seseorang, sembari mendekat, kemudian menyentuh dagunya. Namun, sebelum tangan jahil itu benar-benar menyentuh dagunya, Komang sudah lebih dulu menepisnya.

“Amboi, amboi, gadis manis. Boleh juga ilmu silatmu!”

“Ciz, hush! Jangan manin-main dengan perempuan!” sela Komang dengan tenang. Meski menghadapi segerombolan penyamun yang sangar rupanya.  

Langkah kakinya gemulai, tidak seperti pesilat pada umumnya. Jari-jari lentiknya menari-nari. Badannya serasa ringan, seperti bisa terbang.

Komang melompat tinggi ke udara. Terdengar bunyi alat musik yang aneh, pasti bukan gending, bukan pula jegog[2]. Secepat ia kilat berhasil menawan kepala penyamun.

“Mengizinkanku lewat, atau kalian ingin menyaksikan pemimpin kalian ini menjadi abu di tanganku?”

Semuanya gemetar. Menganggukkan kepala, “ya, ya, ya!”

Komang sebenarnya gemetar menghadapi para penyamun yang sangar itu seorang diri, apalagi dia adalah anak gadis. Namun, berusaha menyembunyikannya. Ia tidak tahu, rasa takut itu lenyap ketika mendengar alunan musik tadi. Lalu terbuai mengikut alunan music, jemarinya lentik menari, disertai langkah kaki yang sangat ringan. Anehnya, orang-orang sekitar melihatnya seperti seorang pendekar. Semuanya tercengang.

“Ting ting klinting, klintong. Ting ting klinting klintong….”

Alunan musik sungguh merdu, sekaligus magis, mengiringi Komang lolos dari kerubung para penyamun. Ia kini melenggang bebas meninggalkan belantara Gilimanuk da nada di tepi Segara Rupek (Selat Bali).


Dahulu kala. Pulau Bali dan pulau Jawa masih menjadi satu dan belum dipisahkan oleh laut. Pulau itu amatlah panjang dan dinamakan “Pulau Dawa”. Sampailah Komang di pulau Dawa dan ia sudah masuk kaki Gunung Rawang[3]. Di gunung ini ada ada seorang yogi atau pertapa sakti mandraguna. Ia menyamar sebagai pengelana yang fakir dan lusuh.

“Ampunkan saya kalau lancing. Bolahkah bertanya, di mana gerangan Gunung Merapi?” Tanya Komang pasa seorang pengelana yang fakir dan lusuh.

“Di sana!” tunjuk orang yang ditanya.

“Berapa jauh perjalanan?”

“Sekitar Tujuh hari naik kuda!”

“Wah, padahal saya….”

“Padahal cucunda perlu cepat kan?” potong si pengelana.

Komang heran. Tampangnya fakir dan lusuh, tapi orang itu sangatlah cerdas.

“Sepertinya kau ada perlu. Kemarilah, cu!” pinta si kelana.

Separuh ragu, karena belum kenal, Komang pun mendekat. Di bawah sebatang pohon besar dan tua, si kelana duduk bersila. “Ayo, kemari!” katanya. Komang pun mendekat, mengambil posisi duduk bersila. “Pejamkan mata dan konsentrasi,” kata sang kelana. “Tarik napas dalam, buang, hembuskan! Tarik lagi, hembuskan!”

Sejurus kemudian keduanya sampai di suatu tempat di lereng gunung yang tanahnya subur makmur.

“Kita di mana?” Tanya Komang, heran, setelah membuka mata.

“Kaki Gunung Merapi!” sahut si kelana. “Hups, hups huraaaa!” dan ia pun menghilang. Tinggalkan Komang sendiri di kaki gunung itu. Ia harus bisa mencari sekaligus menemukan ilmu padi.

Lama tinggal dan hidup bersama penduduk kaki Gunung Merapi membuat Komang semakin memahami cara-cara bercocok tanam padi. Iia juga paham di balik mitos Dewi Sri dan asal mula terciptanya tanaman padi. Padi adalah pangan pokok masyarakat agraris dan masyarakat timur pada umumnya. Ia lambang kesuburan. 

Komang jadi paham agar padi subur dan berbuah limpah bukan semata-mata soal alam. Tetapi juga kcerdasan dan keterampilan manusia di dalam seluruh rangkaian cocok tanamnya. Dimulai dari pemilihan bibit yang baik, musim yang tepat utuk menanam, pengolahan tanah, pemupukan dan pemeliharaan, membasmi hama dan penyakit, hingga cara-cara memanennya dan menyimpannya dalam lumbung.

Komang berhasil menemukan “ilmu padi”. Ia pun kembali ke Bali dan menyebarkan ilmu itu ke segenap penduduk.

“Kita tak akan kelaparan lagi, nak!” kata seorang lelaki renta memeluk Komang sambil menatap kosong kea rah pematang sawah. Tanpa terasa, waktu berjalan belasan tahun. Di gubuk reot itu dulunya seorang ibu menjerti kesakitan, sampai mengorbannya dirinya, demi cinta pada seorang bayi perempuan.

Komang balas memeluk dan menepuk pundak ayahnya. Sebutir air mata haru jatuh dari pelupuk matanya. Ia merasa cinta dan pengorbanan seorang ibu, tapi tak pernah bisa melihat wajahnya.

“Kau telah menunaikan nazar ibumu!” kata ayah.

Komang menangguk, kemudian menunduk. Ilmu padi yang diperolehnya bukan semata-mata kemahiran dan kepandaian. Melainkan juga rendah hati, seperti ilmu padi. 

Makin berisi, makin tunduk.

 

--TAMAT--

 Kami bantu menyarikan pesan moral cerita ini:

Melalui tokoh Neha Komang, ayah, dan ibunya; terselip nilai sebuah keluarga yang utuh dan saling menyinta. Inilah makna integritas, dari kata Latin “integer” yang berarti: utuh, total, tanpa cela. Neha berjuang, tanpa kenal takut dan lelah, menemukan keterampilan bercocok tanam padi. Dalam pengembaraannya yang susah, ia dibantu orang baik dan sakti (terampil) yang tak dikenal. Semesta mendukung keinginan seseorang yang hatinya teguh untuk mencapai sesuatu yang baik. 



[1] Sapaan halus bagi ibu dalam bahasa Bali.

[2] Aalat musik khas Jembrana, Bali, mmirip gamelan dan terbuat dari bambu. Bentuknya berupa bilahan setengah bambu yang ditata berjajar.

[3] Kini dikenal sebagai Gunung Raung, berada di Jawa Timur dan merupakan yang tingginya 3.332 meter. Kalderanya senantiasa mengeluarkan asap putih dengan semburan api.

LihatTutupKomentar
Cancel