Asal Usul Burung Garuda (1): Loh Gender-Dara Juanti: Perkawinan Burung Garuda
Masri Sareb Putra
Penulis senior, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia
Preambul:
Ketika menulis novel-sejarah Ngayau (2014), saya melakukan serangkaian riset. Yang utama dan pertama adalah ke keraton kerajaan Sintang. Di mana, di situs dan lokus itu, terdapat bukti-sekaligus saksi sejarah. Yakni lambang kerajaan Sintang, burung garuda. Menurut wiracerita kerajaan Sintang, burung garuda itu gabungan mitos Jawa-Dayak. Semula, mahar Loh Gender bagi gadis Dayak, Darajuanti, yang akan disuntingnya.
Bagaimana Loh Gender bertemu Darajuanti, hingga lambang kerajaan Sintang dan siapa nama perancangnya (orang Dayak), saya nukilkan dalam serial tulisan. Mulai hari ini.
PUTRI jelita, cekat, lincah, dan sedikit picik itu Dara Juanti.
Sang dara pernah masuk perangkap ikan, membuatnya cekatan, sekaligus awas di air. Karena itu, ia mengemban misi mencari putra mahkota bernama Demong Nutup bergelar Abang Jubair yang telah lama berlayar ke tanah Jawa, sampai ketemu. Kemudian, membawanya dalam keadaan segar bugar kembali ke kerajaan Sintang.
Sudah tujuh purnama Demong Nutup tak ada berita. Kabar burung dari para prajurit yang pulang kembali ke kerajaan menyebutkan bahwa Demong Nutup tidak lama setelah berlabuh, ditawan oleh pasukan Majapahit.
Pada senja dan hari mulai gulita. Haluan sebuah kapal berbendera burung enggang, yang diimajinerkan sebagai burung garuda, lambang kerajaan Sintang masuk perairan Jawa. Merapat ke dermaga dengan bebas, kapten mengarahkan haluan kapal masuk pelabuhan. Wilayah itu dikenal sebagai Janggala, yakni sebuah pantai bagian utara pulau Jawa ketika itu.
Pada pertemuan antara kali dan laut itulah Abang Jubair menambatkan kapal. Tidak ada yang aneh, seakan-akan semuanya berjalan lancar. Kapal pun berlabuh tanpa hambatan. Namun, jelang subuh, terdengar tabuh yang bunyinya bertalu-talu.
Serta merta mendengar suara tabuh, prajurit-prajurit Majapahit berhamburan keluar pos penjagaan. Di bawah perintah seorang Patih bernama Loh Gender, dengan sigap, prajurit-prajurit mengepung, kemudian dengan yakinnya mendakwa para awak kapal.
“Kalian kami tawan!” kata Loh Gender.
“Apa gerangan salah kami?” tanya para awak kapal, heran.
“Kalian telah mencuri stempel kerajaan!”
“Mencuri? Kami sama sekali tidak mengerti apa yang kalian dakwa atas kami!”
“Jangan berpura-pura!”
“Silakan periksa, jika memang ada!” kata para awak kapal.
“Baiklah!” jawab prajurit Majapahit.
Dengan sigap, seluruh isi kapal pun digeledah. Tidak ditemukan apa-apa. Para awak kapal merasa lega. Namun, ketegangan masih meliputi seluruh awak kapal.
“Coba periksa lambung kapal!” perintah Loh Gender pada para prajurit.
Lalu penyelam-penyelam andal mencebur, masuk air, memeriksa lambung kapal.
Dan benar saja! Setelah keluar dari lambung kapal, ditemukan benda aneh. Benda itu sengaja ditempel, disembunyikan di bawah lambung kapal. Benda itu adalah kura-kura emas yang disebut-sebut sebagai stempel milik Kerajaan Majapahit.
Seluruh awak kapal seketika menjadi pucat pasi melihat benda aneh itu. Tak satu pun merasa mencuri milik kerajaan Majapahit. Namun, apa mau dikata? Hendak menampik tidak melakukan, bukti berbicara. Hendak mengaku “ya”, tidak satu pun awak kapal melakukan seperti yang didakwa.
“Ayo, mengaku dan menyerahlah. Kalian kami tawan, bukti sudah bicara!” kata Loh Gender.
Kura-kura emas yang dipasang di lambung kapal ternyata adalah perangkap belaka.
Tipu muslihat prajurit-prajurit Majapahit untuk memerangkap, sekaligus menangkap semua awak kapal yang masuk wilayah kerajaan Majapahit.(bersambung)
Keterangan gambar:
Penulis di depan keraton kerajaan Sintang. Sumber sejarah asal usul Burung Garuda..