Malaysia - Indonesia (Malindo) Kolaborasi, Bukan Lagi Kompetisi

Malaysia, Indonesia, Malindo, kolaborasi, konfrontasi, Dayak, perbatasan

Kolaborasi, bukan lagi kompetisi. 

Kolaborasi menjadi prinsip utama negara-negara di dunia karena ketergantungan antar manusia di planet ini. Ini tercermin dalam sistem perdagangan global yang menunjukkan interdependensi yang kuat. Dalam konteks kerja sama daripada persaingan, insiden "Ganyang Malaysia" dan konfrontasi dengan tetangga negara hanya terjadi sekali.

Peristiwa yang dikenal sebagai "Ganyang Malaysia" atau Konfrontasi Indonesia-Malaysia bermula pada tahun 1961 ketika Federasi Malaya yang ingin menggabungkan Brunei, Sabah, dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia, melanggar Persetujuan Manila. Persetujuan ini merupakan kesepakatan dekolonisasi tahun 1963 yang mewajibkan keterlibatan Sarawak dan Sabah. Namun, ini menemui penolakan dari Soekarno.

Pulau Borneo dibagi menjadi empat wilayah administratif pada 1961, dengan provinsi Indonesia berbatasan dengan Sarawak di selatan Kalimantan. Di utara, terdapat Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris: Sarawak dan Borneo Utara yang kemudian dikenal sebagai Sabah.

Inggris berusaha menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya untuk membentuk Federasi Malaysia, sebagai bagian dari penarikan kolonialnya di Asia Tenggara. Namun, Brunei menolak dan Singapura keluar dari federasi tersebut.

Kini buka masanya lagi kompetisi, apalagi konfrontasi dengan Malaysia. Tetapi kolaborasi. Apalagi penduduk perbatasan kedua negara sama saja: Dayak. Masa' iya, harus seperti dulu?

Sikap tegas Indonesia terhadap Malaysia diumumkan oleh Menteri Luar Negeri Soebandrio, yang menyatakan ketidaksetujuan terhadap rencana dekolonisasi tersebut. Pada April 1963, sukarelawan Indonesia memasuki Sarawak dan Sabah untuk tindakan militer, yang diikuti oleh serangkaian propaganda, sabotase, dan serangan.

Indonesia dan Filipina setuju dengan pembentukan Federasi Malaysia asalkan mayoritas penduduk daerah yang akan didekolonisasi setuju melalui referendum PBB. Namun, sebelum hasil pemilihan diumumkan, Malaysia menganggap pembentukan federasi ini sebagai urusan internalnya. Indonesia melihatnya sebagai pelanggaran Perjanjian Manila dan campur tangan imperialisme Inggris.

Presiden Soekarno menentang keras rencana dekolonisasi Inggris, menganggapnya sebagai upaya untuk menjadikan Malaysia boneka Inggris. Dia berpendapat bahwa konsolidasi Malaysia akan mempermudah Inggris mengontrol wilayah ini, mengancam kedaulatan Indonesia.

Dalam konteks ini, Soekarno menyatakan perang terhadap Amerika dan Inggris, yang dianggapnya sebagai pelaku imperialisme global, termasuk terhadap Indonesia. Dengan semangat antiimperialisme, ia melakukan perlawanan frontal dan sering mengumandangkan semboyan "Amerika kita setrika, Inggris kita linggis."

Sebagai respons terhadap penentangan Indonesia terhadap dekolonisasi dan serangan militer, demonstrasi anti-Indonesia terjadi di Kuala Lumpur pada September 1963. Demonstran menyerbu Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI), merobek gambar Soekarno, dan memaksa Perdana Menteri Malaysia, Tunku Abdul Rahman, menginjak lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila.

Dalam kesimpulannya, kolaborasi menggantikan persaingan menjadi prinsip utama antara negara-negara dalam ketergantungan global. "Ganyang Malaysia" dan konfrontasi dengan tetangga terjadi hanya sekali, sebagai hasil dari ketegangan terkait pembentukan Federasi Malaysia dan ketidaksetujuan Indonesia terhadapnya. Presiden Soekarno yang antiimperialisme melawan upaya dekolonisasi Inggris, dan hal ini berdampak pada demonstrasi dan ketegangan antara Indonesia dan Malaysia.

Kini buka masanya lagi kompetisi, apalagi konfrontasi dengan Malaysia. Tetapi kolaborasi. Apalagi penduduk perbatasan kedua negara sama saja: Dayak. Masa' iya, harus seperti dulu?

Kini kita semakin cerdas dalam hal politik dan wawasan kebangsaan! *)


LihatTutupKomentar
Cancel