Sistem (Ilmu) Pengetahuan Manusia Dayak

pengetahuan, sistem pengetahuan manusia Dayak, Dayak, tacit knowledge

Sejarah Komunitas Adat di Krayan

Masri Sareb Putra

Penulis senior, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonsia.

Manusia "Dayak". Sengaja narasi ini menggunakan "manusia", bukan "orang". Bedakah?
Jelas lain. Manusia mengacu ke pengertian yang esensial, lagi dalam: makhluk yang berakal budi. Entitas yang mampu menguasai makhluk lain. (KBBI).
Sedangkan "orang" adalah manusia, dalam arti khusus. Di sawah, dan ladang, dipasang patung yang menyerupai manusia. Untuk menakuti burung pipit, tikus, atau hama lain yang makan padi. Namanya: orang-orangan.
Dayak adalah makhluk yang berakal budi. Oleh sebab itu, komunitas yang dikenal sebagai pemangku Borneo, pulau terbesar ke-3 dunia yang luasnya 743,330 km², disebut: manusia Dayak. 
Maka sungguh tepat jika Dr. Mkhail Coomans, Uskup Samarinda yang disertasinya tentang penduduk asli Borneo wilayah Kalimantan Timur, kemudian membukukan disertasi itu diterbitkan PT Gramedia Manusia Daya (1987). Tatkala itu, banyak variasi untuk menyebut penduduk asli Borneo, belum ada kesepakatan hingga 1994 yang menulis: Dayak.
Sudah masuk ranah Epistemologi, sebenarnya, apa yang akhir-akhir ini saya teliti dengan subjek penelitian: Manusia Dayak. Subjek ini mahaluas, sehingga patut untuk dipersempit. Banyak novelty (kebaruan) yang belum dijamah, apalagi dirambah para peneliti, antropolog, dan penulis asing (Barat). Misalnya, KONSEP KAYA MENURUT MANUSIA DAYAK yang pendekatan dan perspektifnya ---setelah diskusi dengan Prof. Samsul Wahidin-- disarankan menggunakan perspektif the Third Wave-nya Toffler.
Kita dipantik oleh pernyataan Mendikbud Makarim bahwa zaman now yang penting kompetensi bukan (lagi) mengandalkan gelar. Padahal, justru nenek moyang Dayak dahulu telah mempraktikkannya. Mereka kompeten (cakap) di bidang pertanian, perburuan, peperangan (ngayau), upacara/ seni budaya, arsitektur (mendirikan bangunan - kecerdasan spasial), lingkungan (kecerdasan natural) serta keterampilan mengenai siklus kultivasi (pertanian) padi. Artefak-artefak/ situs-situsnya ada, tinggal proses penggalian, penelitian, penulisan, dan publikasinya.
Kini kita masuk ke ranah epistemologi, yang lebih abstrak dan lebih sulit. Ditengarai, belum ada satu kajian ilmiah pun terkait topik ini, sehingga perlu keberanian untuk melakukan sebuah studi awal.
Kita gunakan paradigma Tacit dan Explicit Knowledge di mana sebenarnya Pengetahuan Tacit itu 95% telah tertanam dalam "university of life", sedangkan 5% sisanya kajian2 ilmiah bersifat saintifik.
Tentu saja, topik diskusi ini cukup berat. Namun, orang-orang Valentinus Saeng, Ph.D., Prof. Kumpiady Widen, Dr. Wilson, Dr. Patricia Ganing, Dr. Kristianus Atok, Namsi, Ph.D., Dr. Yansen TP, Dr. Marco Mahin, Alue Dohong Ph.D., Tiwi Etika, Ph.D.,dan Dr. Setia Budi, Munaldus, M.A., Dr. Masiun, Prof. Neilson, dan lain-lain sudi turut urun rembug dalam bangun paradigma saya ini.
Sebagai pendasaran bangun-paradigma, ada baiknya kita ambil dari karya Popper "Conjectures and Refutations" di mana di situ ditegaskan ada jalan dialektika kebenaran (ilmu) yaitu: perubahan kriteria kebenaran dan keberanian untuk menambah pendapat baru --meskipun intuitif).
Topik kajian berikutnya yang menunggu kawan-kawan peneliti
- Hati Nurani (conscientia/ geweten/conscience) menurut alam pikiran Dayak.
- Etika Dayak
Mungkin para Doktor/ Profesor bisa membimbing/ menawarkan topik tersebut kepada mahasiswa (S-2/S-3) tentunya menjadi tesis/ disertasi. Kita akan semakin diperkaya dan semakin memahami diri (gnothi seauton).


Kita dipantik oleh pernyataan Mendikbud Makarim bahwa zaman now yang penting kompetensi bukan (lagi) mengandalkan gelar. Padahal, justru nenek moyang Dayak dahulu telah mempraktikkannya. Mereka kompeten (cakap) di bidang pertanian, perburuan, peperangan (ngayau), upacara/ seni budaya, arsitektur (mendirikan bangunan - kecerdasan spasial), lingkungan (kecerdasan natural) serta keterampilan mengenai siklus kultivasi (pertanian) padi. Artefak-artefak/ situs-situsnya ada, tinggal proses penggalian, penelitian, penulisan, dan publikasinya.
Sebenarnya, pernyataan Mendikbud lebih kepada: Tacit Knowledge itu! Dan itu telah dipraktikkan manusia Dayak sejak zaman semula jadi.(*)
LihatTutupKomentar
Cancel