Kopi : Memandang VOC dari Perspektif yang Berbeda

VOC, kopi, kolonial

Menghidupkan kembali "kopi koloniial" peninggalan kompeni Hindia Belanda.

Tahun 1970-an, kopi itu telah ada di belakang rumah kami. Tumbuh subur pula di bawah, sela-sela tanaman buah. Ada mangga. Juga tarap, peluntan, rambutan, serta kedondong sebagai naungannya.

Saya bertanya pada ibunda. "Sejak bila kopi kita itu ada?"

Kata ibu, yang telah bahagia di surga sana, "Sejak dahulu kala." (Maaf, saya berhenti sejenak. Ingat ibu, yang telah menghadap api biru, tahun 2013).

Saya telah membuat branding, yang akan menjadi nama produknya: KOPI KOLONIAL. Telah ada agen di Jakarta yang siap menampungnya. Di kampung, saya baru tanam kopi konolial ini 300 pohon. Ciri morfologi: daun lebar, batang besar, tinggi. Ada di belakang rumah induk kami di Jangkang, batang kopi kolonial sebesar betis orang dewasa. Ciri lain: ia kuat, panjang umurnya, hama dan penyakit tak mempan membunuhnya.

Saya ingin tahu lebih jauh jadinya. Dari ibu pula, yang asli kampungnya di sebuah terusan, yang dikelilingi sungai Sekayam, tak jauh dari Bonti, kini kecamatan Bonti, Kabupaten Sanggau.

"Kami masih anak-anak. Setiap kali,  mendengar bunyi seperti raksasa batuk. Itu adalah kapal kompeni lewat, NIRUB namanya. Kapal itu kapal selam, hanya cerobong asapnya seperti bernapas, berada di atas permukaan air."

Saya ingin tahu lebih jauh: apa sih NIRUB. Ternyata, itu kapal khusus kompeni membawa karet. Singkatan dari: Netherlands Indie Rubber". (Nanti sayat tulis sendiri landbaw, varietas karet peninggalan kompeni yang saat ini masih ada di kampung kami).

Kini, semua anggota keluarga kami pengopi. Ternyata, usut punya usut, hal itu karena "keturunan". Nenek kami pengopi berat, selain makan sirih.

Saya masih ingat, waktu kecil. Nenek punya cawan sendiri, besar cawannya. Penuh dengan kopi. Sesedikit diseruputnya, tidak sekali habis. Lalu ditaruhnya lagi di suatu tempat khusus.

Saya kerap, diam-diam, "mencuri" minum kopi nenek!

Sedap sekali!

Ibu kami juga rupanya kecanduan kopi dari ibunya. Kami adalah keluarga pengopi berat. Bahkan, abang sulung saya, sehari jarang minum air putih. Minumannya kopi. Sepanjang hari. Semboyan hidupnya sederhana, "Ada kopi dan rokok, cukuplah hidup ini. Nyari kenikmatan macam apa lagi?"

Kopi peninggalan kompeni tadi dibudidayakan pula oleh tetagga. Namanya Duben dan Kisui, alias Mang Akop. Selain bibit milik keluarga kami belakang rumah, saya mencabut anakan kopi yang tumbuh di belakang rumah mereka. Dianggap sebagai tanaman liar, sehingga tidak dipelihara. Maka tergerak hati saya. Ingin membudidayakan secara besar-besaran kopi peninggalan Hindia Belanda ini. Pasti punya citarasa yang khas!

Saya telah membuat branding, yang akan menjadi nama produknya: KOPI KOLONIAL. Telah ada agen di Jakarta yang siap menampungnya. Di kampung, saya baru tanam kopi kolonial ini 300 pohon. Ciri morfologi: daun lebar, batang besar, tinggi. Ada di belakang rumah induk kami di Jangkang, batang kopi kolonial sebesar betis orang dewasa. Ciri lain: ia kuat, panjang umurnya, hama dan penyakit tak mempan membunuhnya.

Di kebun kopiku, di kaki sebuah bukit, kopi kolonial ini tumbuh subur. Saya amati, habitatnya tepi aliran sungai dan kaki gunung. Kini kopi kolonialku sedang berbunga. Padahal, usianya baru 1,5 tahun.

***

Jadi, sebenarnya, tak semua yang ditinggalkan kompeni Hindia Belanda buruk. Kopi ini misalnya, untung ada VOC. Jika tidak, tak akan saya bisa meneruskan budidayanya.

Sejak saya mulai menyimpan memori, taruhlah umur 6-7 tahun, kopi kolonial VOC ini telah ada. Itu artinya, telah ada sejak zaman kuda menggigit besi.

Baiklah, kubudidaya dan piara secara massal. Kuberi nama: kopi kolonial. Trade-mark, yang telah kukenalkan, dan akan kupaten.

Rekam-jejak digital ini bukti aku orisinal pemilik dan pencipta brand.
Baiklah, kupelihara dan budidayakan secara massal. Kujadikan komoditas khas KOPI van Jangkang. Atau Kopi van Borneo. Tentu akan jadi komoditas eksklusif.

Kini kopi kolonial tumbuh dengan subur di kebun kopiku. Sebuah areal onderneming, nun jauh di sudut Borneo. Dua kecamatan batas dengan Negeri Sarawak, Malaysia. Dari Kuching 3 jam perjalanan darat. Jauh lebih dekat banding dari ibukota provinsi Kalimantan Barat, Pontianak.




Ik heb echter ook 300 exemplaren van VOC-erfgoed, Nederlands-Indië - koffie van Borneo - geplant terwijl ik de geest van de Compagnie nieuw leven inblies.

Biar terkesan bernuansa VOC --meski akhir-akhir ini saya suka membaca-baca literatur tentang kompeni Hindia Belanda. Saya pun sempat langsung ke Sunda Kelapa. Napak tilas markas VOC zaman baheula. Maka baik kiranya sepatah dua narasi dalam Holland spreken:

Ik bestelde een Arabica-superkoffiezaad uit Sintang, een Rp 20.000 / zaailing arriveerde op de locatie. Ik heb echter ook 300 exemplaren van VOC-erfgoed, Nederlands-Indië - koffie van Borneo - geplant terwijl ik de geest van de Compagnie nieuw leven inblies.

Als het bedrijf (VOC) start vanaf 17 heeren (meester), begint ons familiebedrijf met ons tweetjes (Fidel). Wens je overwinning.

Terima kasih, VOC!

LihatTutupKomentar
Cancel