Kisah Dayak vs. Petambang Imigran Cina di Republik Lanfang
![]() |
Lambang dan bendera Republik Lanfag dan penampakan sudut kota Mandor kini. Ist |
Masri Sareb Putra
Penulis senior, Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia
Republik Lanfang. Ibukotanya: Dong Wan Li atau Mandor.
Saya baru saja menginjakkan kaki di bumi ini, pengujung tahun lalu. Ketika bertemu dengan the real "penguasa" bekas kerajaan Cina di jantung Borneo Barat ini: Cornelis.
Dari Pontianak ke Ngabang, Landak, dapat melewati dua jalur jalan. Bisa melalui jalan mulus Pontianak-Ambawang-Sosok. Bisa pula melalui jalur pantai utara, Pontianak-Pinyuh-Mandor. Nah, saya sengaja melalui jalur pantura, agar bisa mampir di bekas Lánfāng Gònghéguó, atau Republik Lanfang. Yang dalam aksara Cina (kuo eu') ditulis 蘭芳共和國
Bagaimana bumi Borneo Barat dikuasai, dan menjadi kerajaan Cina di luar Tiongkok, akan ada narasi sendiri tentangnya. Bahkan, saya sedang menyiapkan sebuah buku khusus: Orang-Orang Cina di Kalbar: Dahulu, Kini, Masa Depan. Riset dan wawancara telah pun saya lakukan. Tinggal menulis narasinya. Menunggu uluran tangan orang yang "bosan kaya" untuk menerbitkan dan menyebarluaskannya.
Sebenarnya, "kerajaan" ini adalah federasi kongsi Hakka di Kalimantan Barat. Didirikan oleh Low Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun 1777. Sampai akhirnya dibubarkan oleh Kompeni Belanda pada tahun 1884.
Saya tertarik, dalam tulisan ini, menarasikan bagaimana Hindia Belanda mengadu para petambang imigran Cina ini dengan komunitas Dayak. Kali ini, betul taktik divide et impera khusus kasus ini. Meski pola penguasaan Hindia Belanda untuk suku Dayak adalah: salt starvation.
Karena persaingan penguasaan pertambagan emas di wilayah Sambas, terjadi Perang Kongsi antara Thai Kong dan Sam Thu Kiau pada 1795.
Sejak kapankah imigran Cina ada di Borneo Barat? Sudah sejak berabad silam.
Etiologi Bengkayang, Rara --negeri jauh-- dan Singkawang (San Kew Jong), dan monumen pendaratan warga Cina di Pemangkat adalah jejak peninggalan sejarah itu.
Saya berkeliling pesisir pantai utara dan tinggal bersama warga Tionghoa untuk penelitian. Saya menemukan kilasan sejarah:
- 1745 telah ada perkongsian di daerah Monterado, Mandor, dan Budok --pusat penambangan emas-- antara lain Tai Kong, Samto Kiaw, dan Fei Sjun. Dalam kongsi ini, imigran dari Cina bukan hanya buruh kasar, melainkan juga pemilik.
Namun, migrasi besar-besaran ketika datang seorang bernama Lo Pong yang membawa 100 keluarganya. Ia kemudian ke Mandor, daerah yang kini arah jalan Sei Pinyuh-Senakin. Ia menjadi "tai po", pemimpin besar warga Cina di Kalbar.
Small China in Tropics kemudian disematkan pada Singkawang dan Mandor ketika itu. Benar-benar menjadi wilayah yang otonom. Disebut juga "Republik Mandor". Sedemikian rupa, sehingga terjadi konflik dengan Sultan Sambas (1850) dan dengan orang-orang Dayak.
Namun, pada 1921, gelombang imigran besar-orang orang Cina mengalir secara deras ke Borneo Barat.
Kalimantan Barat sejak zaman kolonial sudah rawan konflik (Heidhues, 2003: 47). Selain menyimpan kandungan kekayaan alam luar biasa yang potensial menjadi casus belli (sebab pertikaian) antarpenduduk, wilayah ini juga terdiri atas multietnis dengan berbagai kebudayaan dan latar belakangnya.
Perebutan kekayaan alam dan benturan antarbudaya yang berbeda inilah yang menjadi sumber konflik di Kalimantan Barat yang hingga saat ini masih belum menemukan penyelesaian hingga ke akar-akarnya (Djuweng dan Krenak, 1993; Klinken, 2005; Davidson, 2009).
Pada zaman kolonial, penduduk wilayah Kalimantan Barat berhadapan dengan kekuatan luar, yakni kompeni Belanda yang menguasai daerah pertambangan yang berpusat di Budok dan Monterado (wilayah Kabupaten Bengkayang sekarang). Menurut Heidhues (2003: 126), dominasi dan hegemoni para petambang emas asal Cina yang disokong kompeni Belanda telah memicu “Perang Kongsi” yang dianggap sebagai simbol penguasaan atas sektor-sektor penting perekonomian setempat. “Perang Kongsi” yang berlangsung tiga tahun pada 1850-1854 ini terjadi di wilayah yang sama dengan “Kerusuhan Sambas” pada 1999.
Lanfang adalah "kerajaan" federasi kongsi Hakka di Kalimantan Barat. Didirikan oleh Low Fang Pak (Luo Fangbo) (羅芳伯) pada tahun 1777. Sampai akhirnya dibubarkan oleh Kompeni Belanda pada tahun 1884.
Para penambang besar dan sukses di Budok dan Monterado bukanlah etnis Dayak, penduduk asli Kalimantan Barat. Orang-orang Dayak tinggal dikomunitas kecil dan terisolasi dengan hubungan luar sedikit, sehingga relatif mudah untuk mengontrol mereka. Sementara parapenambang Cina lebih terorganisasikan dan terkontrol. Kongsi-kongsi ini terorganisasi sedemikian rupa, sehingga memungkinkan etnis Cina baik sebagai petambang maupun sebagai pedagang untuk bekerja secara lebih efisien.
Di samping itu, juga memungkinkan mereka untuk menentang otoritas Melayu (raja lokal) dan hubungan merekadi luar negeri memberi mereka keuntungan tambahan. Setelah merasa kuat, kongsi-kongsi ini lantas melanggar hampir semua ketentuan perjanjian dengan penguasa pribumi. Inilah bibit awal konflik etnis di Kalimantan Barat yang melibatkan tiga etnis besar penghuni wilayah itu, yakni Dayak, Melayu, dan Cina yang diawali dari perebutan dan penguasaan tambang emas sebagaimana dicatat Heidhues (2003: 52) berikut ini.
"But these miners were not Dayaks. The Dayaks live in small and relatively isolated communities with few outside ties, and so were comparatively easy to control. The Chinese laborers were better organized and controlled. Their kongsis –the same organizations that enabled the Chinese to mine more efficiently—also enabled them to defy Malay authority, and their ties abroad gave them an additional advantage. Soon they were evading virtually all the provisions of the agreements with the native rulers."
Para penambang bukanlah etnis Dayak. Orang Dayak hidup dalam komunitas kecil yang relatif terisolasi dengan dunia luar, sehingga cukup mudah untuk mengontrol mereka. Para pekerja etnis Cina lebih terorganisir dan dapat dikendalikan.
Kongsi mereka --organisasi sama yang memungkinkan etnis Cina untuk menambang lebih efisien-- juga memungkinkan mereka untuk menentang otoritas Melayu, dan hubungan mereka di luar negeri memberi mereka keuntungan lebih. Dengan demikian, mereka dapat menghindari hampir semua ketentuan perjanjian dengan penguasa pribumi.
Pada 1818, kompeni Belanda datang ke Borneo dan melihat bahwa potensi tambang pulau tersebut sangat luar biasa. Kompeni Belanda mulai melemahkan kekuasaan Sultan Melayu dengan mengadu domba petambang etnis Dayak dan Cina (Heidhues 2003: 73). Konflik etnis pun muncul sehubungan dengan perebutan tambang emas ini seperti dicatat Heidhues (2003: 83) sebagai berikut.
Trouble between the Dayaks and the Chinese arose. In 1842, Chinese miners in Lara took over a Dayak gold mine, diving Dayak miners away; the Dayaks replied by burning some Chinese dwellings, and in response the Chinese murdered about forty Dayaks. The Dayaks again retaliated by burning some hundred houses. (Permasalahan antara Dayak dan Cina pun muncul. Pada 1842, penambang Cina di Lara mengambil alih tambang emas milik Dayak, penambang Dayak menyerah kalah, tapi orang Dayak membalas tindakan itu dengan membakar beberapa rumah Cina, dan sebagai balasannnya Cina membunuh sekitar empat puluh orang Dayak. Orang Dayak membalas lagi dengan membakar beberapa ratus rumah.)
Titik perhatian kompeni tetap pada bagaimana menguasai kantong-kantong pertambangan dan perdagangan. Mulailah kompeni Belanda menjalankan politik divide et impera (pecah belah) dengan membenturkan etnis Dayak dengan etnis Cina.
Terima kasih pada kompeni Hindia Belanda. Yang merancang perang Kongsi. Namun, kemudian, kompeni sendiri dihalau dari bumi khatulistiwa. Jepang juga.
Kini bekas wilayah Republik Lanfang kembali ke tangan orang-orang Dayak. Setelah sempat dirajai dan dikuasai pendatang dan orang asing.*)