Jessica Timah dan Fenomena "Booming" Industri Musik Iban

Jessica Timah, Iban, musik, industri, Sarawak

 

Kalangan cerdik cendekia mengatakan "komodifikasi budaya". Suatu industri massa, yang bahan mentahnya atau causa materia-nya diolah dari budaya suatu suku bangsa. Sah-sah saja. 

Di dunia, Mazhab Fraknfurt yang hijrah ke Amerika Serikat pertama kali memperkenalkan istilah itu. Kini, puluhan tahun kemudian, orang Iban di Malaysia dan Indonesia melakukannya: hidup dari industri musik tempatan. Produk lokal. Namun, melintas batas (boundary) dalam makna harfiah maupun kiasan.


Jessica Timah dan Fenomena "Booming" Industri Musik Iban

Bisa nyau baka ipuh
tajam nyau baka laja..

Itu peribahasa. Khs Iban.

Tak syak lagi. Kini seni budaya Iban telah tumbuh jadi komoditas. Syair dan rentak irama lagu yang khas menuansakan adat budaya Iban. Menjadikannya "barang dagangan". Yang dalam bahasa  Sekolah Frankfurt disebut "komodifikasi budaya". Hari ini, orang Dayak menikmati sendiri nilai ekonomi seni budayanya.

Dari lagu-lagu Iban, kita mengetahui banyak hikmat kebijaksanaan. Juga kekayaan dan kearifan nenek moyang suku bangsa Dayak. Syair lagu "Aya Berantu" yang dilantunkan Jessica Timah duet dengan Gilbert Gaong misalnya. Kita mengetahui peribahasa.

Bisa bagai getah ipuh (bahan menyumpit)

Tajam bagai laja (ujung busur panjok, belantik).

Jessica Timah. Ya! Perempuan imut ini satu dari sekian banyak artis pelantun lagu langgam Iban masa kini yang pantas dicatat sebagai fenomena. Disebut demikian, sebab musik etnik –terutama di Kalimantan—menjadi tren. Orang mulai sini dan di tempat ini serta dilantunkan penyanyi yang mereka kenal.

Rata-rata artis-artis Iban, di Malaysia, bisa menjual CD –album lagu– 200.000 keping per tahun. Yang unik, launching album baru bukan di mal atau di hotel berbintang, melainkan di kampung-kampung. End-users, atau pembeli langsung serta penikmat yang disasar.

Dikemas dan disajikan sedemikian rupa. Makin lincah, riang, tetap romantis-melankolis.

Tema cinta, rindu, benci, dendam; mendominasi. Gambaran kehidupan nyata, yang dialami sehari-hari. Dipadu busana, aksesori, dan syair dalam bahasa Iban; musik dan lagu etnis di Malaysia boleh dijadikan topik bahasan menarik. Barangkali itulah yang oleh Sekolah Frankfurt disebut “komodifikasi budaya”.

Enak saja mata melihat para penari latar. Gerak langkahnya serasa mengantar ke alam Dayak sungguhan. Begitulah Dayak! Yang senantiasa gembira, sepanjang hari.

Toh ada pula lagu dengan rentak irama gembira. Bila mendengarnya, serasa kaki, tangan, dan semua anggota bada ikut bergoyang. Misalnya, "Merindang Ati Maya Gawai" -Menghibur Hati Menyambut Gawai (Pesta Tahun Baru Dayak).

Kebangkitan, sekaligus booming lagu-lagu Iban di Sarawak sampai juga gemanya pada saudaranya di Indonesia. Di Kabupaten Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu –di mana bermukim orang-orang Iban— artis seperti Jessica Timah, Sima, Ricky El, dan Gilbert Gaong menjadi santapan sehari-hari. Lagu Iban yang mereka nyanyikan digemari lintas negeri, laku sebagai komoditas.

Berbeda dengan artis Iban lain, pita suaranya renyah. Sedikit melengking, mendayu-dayu sendu, tapi tetap bisa diikuti. Dengan populasi terbanyak di antara rumpun subsuku Dayak, nyaris mencapai bilangan 1 juta, lagu Iban pun membahana.

CD lagu terjual rata-rata 200.000 keping pertahun. Sebuah industri kreatif yang atraktif bernilai ekonomi, yang pada zaman dahulu kala tidak pernah terbayangkan. Ternyata orang Dayak bisa melakukan.

Karya seni,  olah cipta lagu-lagu baru seperti tidak pernah berseri. Album “Betemu Baru” duet Timah dengan Dunstan Piyet. Meski, sebenarnya, pasangan duetnya sejak mula adalah Gilbert Gaong.

Kunjungi dan nikmati pula https://www.bordernews.id/2023/04/ricky-el-dan-bujang-lelayang-yang.html

Hal yang perlu dipetik, rata-rata artis-artis Iban, di Malaysia, bisa menjual CD –album lagu– 200.000 keping per tahun. Yang unik, launching album baru bukan di mal atau di hotel berbintang, melainkan di kampung-kampung. End-users, atau pembeli langsung serta penikmat lagu-lagu Iban yang sudah dimodifikasi. Ternyata, aspek kedekatan dan rasa memiliki ini perlu dipertimbangkan dari sisi pasar.

Dengan kata lain, artis-artis Iban bisa hidup dari kegiatan dan menggali kekayaan seni budaya puaknya. Bahan-bahanya sudah ada, tinggal digali, dan dimodifikasi secara inovatif. Itulah ekonomi kreatif. Yakni seni dan teknik mengemas barang lama, ke dalam bentuk baru.

Artis-artis Iban, di Sarawak, pada awa mula terhimpun dalam grup musik Cahaya Manis yang biasa melakukan road show ke mana-mana. Membuat industri musik etnik di negeri jiran hidup, artisnya pun hidup. Memberi inspirasi, asalkan berkanjang dan tahu caranya, berdendang dan menyanyi lagu etnik dapat dijadikan profesi.

Lagu yang dilantunkan Timah, sering diputar di mobil-mobil warga Kalimantan Barat, terutama kabupaten ujung timur, seperti: Sekadau, Sintang, Melawi, dan Kapuas Hulu. Penggemarnya bukan hanya orang Iban. Penikmatnya lintas-etnis.
Lagunya yang populer dan digemari:

1) Ngenang Nuan
2) Beperindang Maya Gawai - Entelah
4) Laki Sigat
5) Raja di Ati
6) Anang Jugau

7) Meri Petara Makae --lagu para artis Iban. Timah bersama Ricky El, Sima, Gaong, dan Lidia Ricky yang meramaikan panggung rumah radakng, Pontianak. Latar remakan videonya di sini.
Pembaca yang ingin tahu, dapat menjelajah, sekaligus menikmati lantunan lagu-lagu Iban oleh Timah di Youtube.

Kunjungi pulalah ini https://www.bordernews.id/2023/04/jo-anna-sue-henley-rampas-unduk-ngadau.html

Lagu-lagu Timah dan kawan-kawan bukan hanya laku di Malaysia. Juga laris manis di Indonesia.

***

LihatTutupKomentar
Cancel