Museum Sarawak
Muzium Sarawak. Jika ke kota Kuching, lokus wisata ini jangan pernah alpa untuk dikunjungi. Meski barangkali kurang suka sejarah dan arkeologi, Anda setidak-tidaknya mendapatkan suasana yang berbeda, di sana.
Kuching adalah ibunegeri Sarawak, Malaysia. Ihwal lepasnya Sarawak menajdi negeri, dan negara sendiri, dari Indonesia, telah pun kita ketahui bersama Itu suratan sejarah! (Baca artikel terkait https://www.bordernews.id/2023/02/utang-negara-pada-perbatasan-cuitan-dan.html)
Bagi kami, yang tinggal di perbatasan. Batas hanyalah imajiner, yang dibuat manusia. Garis, seperti waktu kita kanak-anak, untuk memisahkan egoisme kita dari kawan. Sekaligus, menunjukkan kita paling berkuasa.
Nyatanya, kami punya saudara yang saling silang antar negara. Saya punya keluarga tinggal di Sibu. Kawan-kawan rapat, dan teman diskusi tinggal di Miri, Sabah, dan Sandakan.
Bahkan, saudara-saudara, famili dekat sesama etnis Bidayuh tinggal di Serian. Beberapa di Tebedu.
"Persekongkolan" pun terbangun. Di Museum Sarawak, di mana Dr. Ipoi Datan pernah jadi Ketua Pengerusi, saya kerap terbenam berhari-hari. Meneliti artefak di sana. Membaca buku-buku kuna. Sembari, sore harinya, "berpusing-pusing" tepian Sungai Sarawak ngopi dan makan malam.
Buku-buku tentang dayak di Sarawak, sungguh banyak. Kita bertemu bacaan-bacaan yang luar biasa kaya. Dari legenda, mitos, hingga hasil penelitian.
Saya banyak mendapat referensi dari Museum Sarawak. Tapi membeli buku juga di toko-toko buku, samping kedai kopi, seputaran Water Front.
Museum Sarawak dikelola profesional. Anda mencari referensi terkait Sarawak, etnologi/etnografi, kepercayaan tradisional di masa lampau, serta sejarah; semua tersedia di sini.
Bahkan, Museum Sarawak punya jurnal ilmiah. Topik riset yang dimuat di dalamnya, luar biasa bernas, selain unik. Di sini saya menemui banyak monografi, yang tidak saya jumpai di negeriku. Penjelasan detail mengenai kenyalang, hornbill, lambang umumnya orang Dayak.
Namun, satu subsuku Dayak yang tidak mengenal simbol ruai, enggang itu, yakni Lun Bawang (di Malaysia dan Brunei) dan di Indonesia (Kaltara dan Kaltim) disebut: Lun Dayeh. Subsuku yang di Sarawak berjumlah 20.000 ini, punya akar budaya yang sama dengan di Indonesia.
Tokoh legendaris mereka, baik dalam wiracerita maupun dalam legenda, juga sama. Yakni Yupai Semaring. Bahkan, situsnya disebut Batu Narit di Malaysia terdapat di perbatasan antara Sabah-Sarawak. Satu situs bersejarah terdapat pula di Pa Ukat dan Pa Lungan di dataran tinggi Ba Kelaban.
![]() |
Luar biasa jasa MuUzium Sarawak ini. |
Kini Gua Niah adalah Taman Nasional. Penduduknya orang Iban. Jika tidak ada Museum Saraak, niscaya selamanya kita tidak pernah tahu bahwa kitalah pemangku tanah Borneo. Suatu warisan dari nenek moyang puluhan ribuan tahun yang silam yang harus tetap dijaga dan dipelihara hingga kapan saja.
Tatkala orang Lunbawang (Lun Dayeh di Indonesia) Ipoi Datan, Ph. D. menjabat kepala Museum Sarawak, beberapa kali saya berjumpa dengannya di museum. Kami berdiskusi. Berbincang-bincang tentang banyak hal. Utamanya seputar sejarah dan tradisi nenek moyang suku bangsa Dayak.
Menurut hasil penelitian Ipoi Datan. Tidak semua sukubangsa Dayak simbol atau ikonnya adalah burung engang, ruai, atau kenyalang (hornbill). Meski kebanyakak rumpun Dayak menjadikan burung yang terbang tinggi serta makan buah yang bersih ini adalah lambang ketinggian, kecerdasan, ketangkasan, serta kedigdayaan.
"Lun Dayeh Idi Lunbawang simbolnya buaya," terang Ipoi. Ia sendiri telah melakukan penelitian dengan saksama. Yang diterbitkan oleh jurnal
Muzium arawak didirikan pada 1888. Namun, dibuka pada 1891 di sebuah bangunan di Kuching, Sarawak. Adalah Charles Brooke, Rajah Putih Sarawak II mendirikan museum tersebut. Konon kisahnya atas permintaan Alfred Russel Wallace.
Museum ini boleh dikatakan besar, modern, dan lengkap. Hingga 1974, Kepala Museum Sarawak sampai tahun 1974 “kurator” (kata Latin yang berarti: sang pemelihara). Namun, sejak 2009 hingga kini kepalanya disebut “Direktur". *)