Malaysia dan Indonesia (Malindo) dalam Perspektif Sejarah dan Perbatasan

Indonesia, Malaysia, Malindo, Sarawak, Pontianak, Krayan, Tawau, Sebatik, Nunukan, imajiner, Entikong, Dayak, Tampun Juah, Iban, Bidayuh, IKN


  • Multifacet wajah perbatasan Malaysia - Indonesia (Malindo).
Jauh sebelum adanya boundary geopolitik. Warga perbatasan Malaysia dan Indonesia (Malindo) satu dan sama. Tak ada yang bisa memisahkan. Sebelum negara terbentuk. Lebih dulu ada satu sukubangsa di Borneo

Tampuan Juah, yang kini terletak di wilayah Segumon, Sekayam Hulu, adalah salah satu titik penting dalam sejarah Kalimantan Barat. 

Diakui oleh berbagai suku bangsa di Kalimantan Barat (151 subsuku Dayak menurut Alloy, dkk., 2006: 67-330), kecuali rumpun Dayak Kanayatn, sebagai titik "tanah semula jadi" atau akar budaya yang mendalam. Letaknya di dekat perbatasan Kalimantan Barat dan Sarawak, Malaysia, membuatnya memiliki nilai historis dan budaya yang sangat penting dalam sejarah regional.

  • Situs Tampuan Juah, tanah semula jadi Dayak Iban dan Bidayuh.
Dalam konteks genealogis dan sejarah asal usul komunitas di wilayah ini, perlu dicatat bahwa Kalimantan Barat, Sarawak, dan Brunei memiliki banyak persamaan sejarah. Sebagian besar dari wilayah ini adalah bagian dari wilayah yang sama pada masa lalu dan memiliki ikatan budaya, etnis, dan sejarah yang kuat.

Pada masa lalu, banyak suku dan etnis yang mendiami wilayah Kalimantan Barat, Sarawak, dan Brunei telah. Mereka berinteraksi secara intens. Melakukan perdagangan, pertukaran budaya, dan bahkan memiliki ikatan kekeluargaan. Hal ini terutama berkaitan dengan penyebaran penduduk yang bermigrasi di wilayah ini selama berabad-abad.

Sejarah ini telah membentuk komunitas-komunitas yang saling terkait dan saling memengaruhi antara Kalimantan Barat, Sarawak, dan Brunei. Bahkan dalam banyak aspek, budaya, dan tradisi, kesamaan antara ketiga wilayah ini masih terasa hingga hari ini.


Terdapat hubungan erat dalam sejarah asal usul komunitas di Kalimantan Barat, Sarawak, dan Brunei. Hubungan batin dan historis ini telah membentuk ikatan budaya dan sejarah yang kuat di antara mereka. Kesamaan ini adalah salah satu hal yang menarik dalam pemahaman sejarah dan budaya regional di wilayah ini.

Uji karbon (C-5) Mengukuhkan
Menurut hasil penelitian ilmiah uji-karbon oleh Muzium Sarawak bekerja sama dengan Inggris. Diketahui bahwa penghuni Borneo telah ada di Gua Niah, kawasan Miri saat ini. Fakta ini membuktikan pewaris, sekaligus pemangku, bumi Borneo ada di wilayah situs dan lokus bersejarah pada waktu itu.

Kemudian datanglah penjajah. Selain memilah-milah penduduk Borrneo berdasarkan kepentingan mereka, Kompeni Hindia Belanda (VOC) dan Inggris mengaduk-aduk dan menciptakan konflik antar-suku di Borneo untuk tujuan menguasai. Bukan hanya menguasai secara politik, melainkan juga di bidang ekonomi, dan terutama sumber daya alamnya yang kaya.

Kini makin disadari pendekatan yang lebih kekeluargaan di dalam Malaysia dan Indonesia menangani perbedaan. Kian kuat tekad indigenous people (penduduk asli) di kedua pulau terbesar ke-3 dunia dengan luas 743.330 km² itu untuk hidup bersaudara dalam rumah panjang yang satu dan sama tanpa sekat.

Bahkan kaum Iban diakui berasal dari Tampun Juah. Suatu lokus disebut "tanah semula jadi" yang pada ketika ini situsnya berada di 
Segumon, Kecamatan Sekayam, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat.
Sementara itu, Dayak Lundayeh di Kalimantan Utara dan LUn Bawang di Sarawak pun satu asal yang sama, yakni dari Kayan, Dataran Tingg Borneo. 

Melatakkan Dayak dalam latar sejarah dan adal usul itu, "So we are brothers and sisters" demikian Prof. Dr. Neilson Ilan Mersat dari Faculty of Social Sciences, University Sarawak, Malaysia. 

Hal itu disampaikan dalam kapasitasnya sebagai
key note speaker Iban Summit II di Tapang Sambas, Kabupaten Sekadau, Kalimantan Barat 24 Maret 2023. Maka tidak heran jika butir pertama Maklumat Iban Summit II adalah "Mengakui satu Iban".

  • Prof. Dr. Neilson Ilan Mersat
 
Apa yang dikemukakan sang profesor sebenarnya hanya menggarisbawahi. Bahwa dari perspektif sejarah, apa yang kini disebut "perbatasan" terutama bagi penduduk Sarawak dan Indonesia bukan masalah internal penduduknya. 

Penduduk kedua negara yang satu asal, senantiasa menjalin hubungan kekeluargaan apa pun terjadi dan hingga kapan pun.


Dahulu kala casus belli konflik Indonesia-Malaysia lebh kental nuansanya pada masalah ambisi politik serta harga diri pemimpin kedua negara. Yang kemudian menyeret konflik horizontal ke akar rumput. Sedemikian rupa, sehingga seakan-akan yang terjadi adalah benturan antar-penduduk perbatasan saja. 

Tapi itu sejarah kelam pada masa silam. Meski hingga kini, terutama di wilayah perbatasan, masih meninggalkan luka lama. Adanya lubang-lubang galian persembunyian di kaki kaki gunung di dataran tinggi Borneo dan sisa-sisa veteran perang Ganyang Malaysia yang masih hidup dan menerima kompensasi dari Negara, membuktikan trauma itu belum sembuh benar luka lamanya.

Kini suasana telah berbeda. "Kolaborasi jauh diinginkan daripada kompetisi," tegas Dr. Louis Ringah Kanyan yang merupakan salah satu narasumber Iban Summit II. 

"Tak ada gunanya lagi berseteru. Lebih baik bersatu. Habis tenaga kita. Apalagi kita ini satu darah, satu asal mula," kata pria Iban yang punya saudara di Kalimantan Barat. Sebagai sejarah, Konfrontasi Indonesia dan Malaysia adalah peristiwa masa lampau. 

Kini kedua negara (Malindo) sangat akur. Bahkan saling bertukar di berbagai bidang demi kemajuan dan kemanusiaan dan demi Dayak yang unggul. Tak ada gunanya lagi kompetisi, apalagi konfrontasi. Cuma ada sepatah kata: kolaborasi.

Baca PLBN Labang, Indonesia Sebagai Patok Simpu

Meski kelam, ia adalah seberkas cahaya kebenaran yang menjadi saksi pada zaman itu. Yang oleh sejarawan dunia, Marcus Tullius Cicero (106-43M) dilukiskan sebagai "vero testis temporum".

Apa yang ditegaskan kembali Prof. Neilson dan Ringah, benar adanya.Menengok kembali peristiwa Konfrontasi Indonesia - Malaysia puluhan tahun lalu maka peristiwa itu dapat dilukiskan dengan peribahasa ini. "Menang jadi arang, kalah jadi abu." 

Ya, tidak ada yang diuntungkan dengan konfrontasi itu. Kedua-dua pihak sama-sama di pihak yang "kalah". Tak ada untungnya. Rugi banyak, ya!

Maka dalam perspektif membangun dari reruntuhan konfrontasi dan sejarah kelam masa silam, berbagai kolaborasi dan kesepahaman telah pun dilakukan terutama masyarakat perbatasan Indonesia - Malaysia. Sedemikian rupa, sehingga jujur saja bahwa masalah "boundary" sebenarnya telah selesai di atas kertas.

Dalam kehidupan sehari-hari, bisa berpotensi muncul  chauvinisme yang berlebihan apabila dikipasi dan dieksploitasi. Namun, warga perbatasan kurang ambil peduli. "Apae miker?"  Bukankah ada semboyan, "Garuda di dadaku Malaysia di perutku?"

Atinya, kini kita saling bergantung satu sama lain. Di Sebatik, kita saksikan barang dan keperluan kedua negara tak ada bedanya.

Maka yang wajib dikembangkan adalah isu-isu kemajuan pembangunan di segala bidang dan peradaban. Adapun masalah lain yang mungkin timbul akibat dinamika kemajuan tadi hanyalah ekses yang tidak diinginkan dan patut untuk dieliminasi.

Baca PLBN Labang, Indonesia Sebagai Patok Simpul

Dua macam perbatasan
Indonesia memiliki dua macam batas, yakni daratan dan lautan dengan negara lain. Perbatasan darat internasional Indonesia dengan tiga negara tetangga yakni Malaysia, Papua Nugini, dan Timor Leste. Adapun perairan laut Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara tetangga yakni India, Singapura, Malaysia, Thailand, Vietnam, Filipina, Palau, Australia, Timor Leste dan Papua Nugini.

Borneo sungguh pulau unik ditilik dari sejarahnya. Suatu wilayah yang eksotik. Berbatasan darat langsung dengan negeri tetangga, Malaysia dan Brunei Darussalam. Penduduk ketiga negara sama, dan satu asal mula pula.


Akan tetapi, dahulu kala pada zaman Konfrontasi dengan Malaysia, mereka dibentur dan diadu domba. Sedemikian rupa, sehingga tragedi kemanusiaan di tapal batas negara ini meninggalkan bukan saja luka, melainkan juga trauma, serta utang Negara pada Perbatasan yang belum terbayarkan.


Andaikata saat ini "Ganyang Malaysia" dipekikkan Bung Karno. Kami semua. Warga perbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Niscaya tak akan sudi lagi terprovokasi. Apalagi, angkat parang dan senapan. Kemudian saling menjegal satu sama lain.


Bagaimana mungkin?  Sebab kami saudara. Suku bangsa serumpun. Bagi kami, batas negara hanyalah imaginer, yang dibuat manusia sebagai zoon politicon. Kami nirsekat atas dasar kemanusiaan. Yang tegak dan hidup bersama sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Akan tetapi. Sejarah tidak pernah mengenal kata "seandainya".


Perang, atau yang lebih populer dengan sebutan “Ganyang Malaysia”, atau kerap pula disebut Konfrontasi Indonesia-Malaysia berawal dari keinginan Federasi Malaya sebagai Persekutuan Tanah Melayu pada 1961 untuk menyatukan Brunei, Sabah, dan Sarawak ke dalam Federasi Malaysia yang tidak sesuai dengan Persetujuan Manila.

 .

Perbatasan
  • Di Perbatasan Mongkos, dekat Sarawak.
Pelanggaran terhadap Perjanjian Manila yang juga dikenal sebagai “The Macapagal Plan” yang disepakati pada 1963 mengenai dekolonialisasi yang harus mengikutsertakan Sarawak dan Sabah ini, ditentang oleh Soekarno.

Pulau Kalimantan pada 1961 dibagi menjadi empat wilayah administrasi. Berbatasan dengan Sarawak adalah provinsi di Indonesia, terletak di selatan Kalimantan. Di utara adalah Kerajaan Brunei dan dua koloni Inggris; Sarawak dan Borneo Utara, kemudian dinamakan Sabah.

Sebagai bagian dari penarikan dari koloninya di Asia Tenggara, Inggris berupaya untuk menggabungkan koloninya di Kalimantan dengan Semenanjung Malaya, Federasi Malaya dengan membentuk Federasi Malaysia. Brunei menolak bergabung dengan federasi Malaysia, sementara Singapura keluar dari federasi di kemudian hari.

Menteri Luar Negeri Indonesia, Soebandrio mengumumkan sikap Indonesia terhadap Malaysia terkait dengan rencana dekolonisasi tersebut. Sikap Indonesia tegas, yaitu bermusuhan terhadap Malaysia. Sebagai salah satu bukti pernyataan sikap tersebut, pada 12 April 1963 sukarelawan Indonesia memasuki Sarawak dan Sabah untuk melakukan tindakan militer. Serangkaian propaganda, sabotase, dan serangan pun dilancarkan.

Sikap Indonesia dan Filipina secara resmi setuju atas pembentukan Federasi Malaysia dengan syarat jika mayoritas masyarakat di daerah yang akan dekolonialisasi memilih untuk referendum yang diorganisasikan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Sebelum hasil pemilihan dilaporkan pada 16 September 1963, Malaysia menganggap bahwa pembentukan federasi ini adalah murni masalah dalam negerinya.

Menurut Malaysia, pihak luar tidak boleh campur tangan dalam proses pembentukannya. Sebaliknya, Indonesia melihatnya sebagai pelanggaran atas Perjanjian Manila, campur tangan Inggris,dan bukti dari imperialisme baru.

Akan tetapi, rencana dekolonisasi oleh Inggris tersebut ditentang habis-habisan oleh Presiden Soekarno. Menurut Bung Karno, dekolonialisasi hanyalah taktik Inggris untuk menjadikan Malaysia sebagai boneka Inggris. 

Selanjutnya, konsolidasi Malaysia akan semakin membuat Inggris mudah untuk mengontrol kawasan ini, sehingga lama kelamaan akan mengancam kedaulatan dan keamanan Indonesia. 

Dalam kerangka itulah, Presiden Soekarno yang dikenal sebagai tokoh dan pejuang anti imperialisme, memaklumkan perang terhadap Amerika dan Inggris yang dianggap sebagai pelaku imperialisme di dunia, termasuk Indonesia. Untuk itu, Bung Karno melakukan perlawanan secara frontal.

Dalam berbagai kesempatan, Bung Karno selalu menggelorakan semangat anti imperialisme tersebut. Semboyan yang berulang-ulang dikumandangkan ialah anti imperialisme dengan Amerika dan Inggris yang menjadi sasarannya, “Amerika kita setrika, Inggris kita linggis,” 
Simak videonya yang sangat menyengat ini

Kunjungi: Propaganda jepang tahun 1945 part1

Sebagai reaksi atas sikap Pemerintah Indonesia, khususnya Bung Karno yang menentang dekolonisasi dan tindakan penyerangan oleh milisi Indonesia, mka terjadi demonstrasi antiIndonesia di Kuala Lumpur yang berlangsung pada 17 September 1963.

Para demonstran menyerbu gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan merobek gambar Bung Karno. Lalu membawa lambang negara Indonesia, Garuda Pancasila, ke hadapan Yang Mulia Tunku Abdul Rahman, Perdana Menteri Malaysia pada waktu itu, dan memaksa Yang Mulia menginjak lambang Negara Indonesia tersebut. 

Tapi itu catatan pada lembar sejarah masa lampau. Historia docet. Biarkan sebagai pelajaran.  Kita mulai babakan dari lembar pertama lagi. Tak ada guna bertengkar sesama saudara. Lebih baik seia sekata. Bergandengan tangan. Seia sekata demi kemajuan bersama.

Api dalam sekam perang di perbatasan antara Indonesia dan Malaysia, menyala lama. Jakarta memang tidak mengalaminya secara langsung. Akan tetapi, masyarakat perbatasan jelas merasanya sebagai beban. Sekaligus utang sejarah yang belum terbayarkan.

Poros Jakarta-Phnom Penh-Hanoi-Beijing-Pyongyang yang digagas Bung Karno tidak bertepuk sebelah tangan.

Gagasan itu spontan mendapat sambutan, terutama dari Partai Komunis Sarawak dan etnis Tionghoa di Kalimantan Barat. Apalagi sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa di Kalimantan Barat mempunyai hubungan khusus dengan Republik Rakyat Cina.

Hal itu terkait peraturan kewarganegaraan negeri Cina yang dikeluarkan pada tahun 1896 menyatakan bahwa orang Cina di mana pun berada tetap diakui sebagai warga negara Cina.

Negosiasi antara Indonesia dan Malaysia untuk mengakhiri Konfrontasi, akhirnya membuahkan kesepakatan. Puncaknya adalah normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia dicairkan kembali pada 11 Agustus 1966.

Atas dasar ini, orang Tionghoa di Kalimantan Barat menganggap bahwa mereka adalah bagian dari small China dalam arti republik sendiri (Alqadrie dan Sastowardoyo, 1984: 70).

Pada aras nasional, Partai Komunis Indonesia (PKI) mendukung Konfrontasi melawan Malaysia (Davidson: 51). PKI yakin benar akan memetik keuntungan mempunyai sekutu yang akan menguasai Malaysia. Hal itu  dapat menjadikan wilayah ini sebagai negara yang berorientasi komunis. Lebih dari itu, PKI mendukung Konfrontasi karena kedekatan hubungannya dengan Bung Karno.

Sesungguhnya, sejak lama etnis Tionghoa di Kalimantan Barat lebih dekat hubungannnya dengan negeri asalnya, RRC ketimbang PKI (Heidhues, 2003). Terutama sejak 1921, ketika gelombang evakuasi orang-orang Cina mengalir dalam jumlah besar ke Borneo Barat melalui Semenanjung Malaya.

Migrasi besar-besaran ini dilatarbelakangi oleh perpecahan antara pemimpin Cina di RRC dan terjadinya perang saudara antara Tjiang Kai Sjek dan Mao Tse Tung. Sebagian imigran lagi keluar karena terdesak dan berusaha mencari penghidupan di luar RRC (Alqadrie dan Sastrowardoyo, 1984: 72).

Atas latar historis tersebutlah. Maka Kadarusno (1977) memilah-milah adanya tiga golongan Tionghoa di Kalimanan Barat sebagai berikut.

Pertama, golongan Cina yang taat pada negeri asalnya. Jumlah golongan pertama ini di Kalimantan Barat paling banyak. Ciri-cirinya adalah golongan ini masih menggunakan simbol-simbol, mempertahankan adat dan budaya nenek moyang asalnya, serta mendirikan sekolah-sekolah berciri khas tertentu. Golongan ini disebut dengan “Cina Bintang 5”, sesuai dengan jumlah tabur bintang pada bendera RRC.

Kedua, golongan Cina yang pro Taiwan. Golongan ini disebut dengan “Cina Bintang 12”. Bilangan ini sepadan dengan jumlah tabur bintang pada bendera Taiwan. Bilangan golongan pertama ini di Kalimantan Barat tidak begitu banyak.

Ketiga, golongan Cina yang sudah dapat menyesuaikan diri dengan alam dan budaya Kalimantan Barat. Warga yang telah beradaptasi. Dan telah pula minum air sungai serta mandi di parit-parit (sei) yang bebas mengalir seperti kehidupan sehari-hari.

Meski demikian, pada peristiwa konflik etnis 1967 di Kalimantan Barat. Kesemua golongan tersebut menjadi korban. Bukan saja golongan “Cina Bintang 5”, melainkan juga “Cina Bintang 12”, dan golongan Cina yang sudah menyesuaikan diri dengan alam dan budaya Kalimantan Barat.

Kemudian daripada itu. Bersamaan dengan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, hubungan Indonesia dan Malaysia pun berubah total. Orde Lama, yang antiimperialisme dan menganggap Malaysia sebagai antek imperialisme, bermusuhan dengan Malaysia. Sedangkan Orde Baru merangkul Malaysia sebagai negara tetangga. Oleh karena itu, penanganan dan resolusi konflik di kedua kawasan menjadi sangat krusial sekaligus rawan.

Berbagai upaya dilakukan kedua negara untuk coba mengakhiri konflik. Seperti dicatat Davidson (2009: 58) berikut ini.

"In January 1966, the Indonesia and Malaysia foreign ministers met in Bangkok to negotiated and end to Konfrontasi, and further talks followed in Kualalumpur in May." (Pada Januari 1966, menteri luar negeri Indonesia dan Malaysia bertemu di Bangkok untuk menegosiasikan dan mengakhiri Konfrontasi, dan dilanjutkan dengan pertemuan di Kualalumpur pada bulan Mei tahun 1966.)

Negosiasi antara Indonesia dan Malaysia untuk mengakhiri Konfrontasi, akhirnya membuahkan kesepakatan. Puncaknya adalah normalisasi hubungan diplomatik antara Indonesia dan Malaysia dicairkan kembali pada 11 Agustus 1966 (Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995: 606). Sebagaimana diketahui bahwa Persetujuan normalisasi hubungan dengan Malaysia bertempat di Ruang Pancasila, gedung Departemen Luar Negeri di Jalan Taman Pejambon, Jakarta pada tanggal 11 Agustus 1966.

Masalah perbatasan kedua negara, khususnya menyangkut sisa-sisa aktivis PGRS/Paraku diserahkan sepenuhnya penanganannya kepada masing-masing negara.Terhadap sisa-sisa aktivis PGRS/Paraku, Indonesia melakukan tindakan militer. Hal ini karena ditengarai bahwa dari 739 anggota PGRS/Paraku yang tercatat, hanya 99 di antaranya yang bersedia menyerahkan diri.

Akan tetapi, alih-alih menyerahkan diri kemudian berdamai. Pada malam 16 Juli 1967, PGRS/Paraku menyerbu Pangkalan TNI Angkatan Udara di Sanggau Ledo, Kabupaten Sambas. Dalam insiden penyerangan ini, empat prajurit TNI tewas ketika sedang berdinas. Sementara itu, pihak penyerang merampas ratusan senjata api milik TNI.

Sejak insiden penyerangan oleh PGRS/Paraku ini, kontak senjata antara PGRS/Paraku dan TNI semakin meningkat. Pada Maret 1967, seorang guru Dayak ditemukan terbunuh di Sungkung, Kecamatan Siding, Kabupaten Sambas. Sejumlah tokoh Dayak diculik dan dihabisi jauh dari tempat tinggalnya. Peristiwa ini tentu saja memancing kemarahan warga Dayak.

Maka tidak terlekkan lagi. Pekik perang "Ganyang Malaysia" telah meninggalkan luka yang dalam. Merembet ke mana-mana. Api perang di perbatasan belum kunjung padam. Rakyat biasa menjadi korbannya.

Pada pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru, hubungan Indonesia dan Malaysia berubah total. Orde Lama, yang antiimperialisme dan menganggap Malaysia sebagai antek imperialisme, bermusuhan dengan Malaysia. Sedangkan Orde Baru merangkul Malaysia sebagai negara tetangga. Penanganan dan resolusi konflik di kedua kawasan menjadi sangat krusial sekaligus rawan.

Toh ongkos Konfrontasi Indonesia dan Malaysia bukan hanya itu. Masih banyak lagi. Di Kalimantan Utara, tak terbilang para pejuang yang menanggung beban-negara hingga saat ini. Beberapa veteran yang masih hidup dapat ditemui di wilayah Krayan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara. Lubang-lubang persembunyian, perlindungan, dan pertahanan masih dapat dijumpai di tempat-tempat tertentu.

  • Bagaimana mungkin kini konfrontasi: kita ada di antara dua negara. Garuda di dadaku, Malaysia diperutku -- kata masyarakat perbatasan.

Penulis berjumpa  langsung kisah dari 3 veteran pejuang perbatasan di Krayan. Sungguh membuat berdiri bulu roma mendengarnya. Apabila kita mau berusaha untuk menyelami lubuk jiwa sejarah di perbatasan betapa masyarakat perbatasan menanggung beban Negara. Bukan hanya fisik. Melainkan juga batin, jiwa, dan beban sejarah pula.

Di masa digital, ketika perang fisik tidak lagi menjadi trendi, maka selayaknya perselisihan dan perbedaan diselesaikan secara damai melalui jalan diplomasi. Perang adalah ujud dari kekerasan di masa lampau. Gengsi dan kesombongan kadang lebih ke depan daripada keselamatan dan kemaslahatan umat manusia. Dengan dalih "kedaulatan dan kehormatan negara" kadangkala pendekatan militer (perang) kerap mengemuka di dalam menyelesaikan perbedaan atau konflik antara Malaysia dan Indonesia.
Baca Boundary Line Indonesia Kalah Dari Malaysia

Haruskah demikian pendekatannya di masa sekarang? Yakni pendekatan atau penyelesaian militer untuk mengatasi perbedaan dan konflik? Bukankah jalan diplomasi lebih baik ditempuh sebab selain tidak memakan korban, juga tidak menimbulkan dampak di berbagai bidang? 

Ole sebab itu, di internal rumpun (warga) yang sama di Malaysia dan Indonesia di perbatasan akhir-akhir ini terbangun banyak kerja sama saling menguntungkan. Kolaborasi lebih baik daripada kompetisi. Sebab kompetisi akan mendatangkan rivalitas. 

Mengapa Malaysia terkesan lebih maju?
Suasana kontras diperlihatkan insfrastruktur pas pada lintasbatas (boundary) dua negara saudara sekaligus tetangga: Indonesia dan Malaysia. 
 

Khusus dalam hal ini. Kita kurang sepandangan dengan Rocky Gerung. Ia katakan, bukan bertanya, "Buat apa membangun infrastruktur. Lihat di luar negeri, banyak infrastruktur dibongkar. Infrastruktur bukan legacy," cetus pria berkacamata tebal, yang populer dengan inisial RG.

Baca Literasi Di Lintas Batas Malindo (Kembayan - Sarawak)

Yang belajar logika formal, khusus De Sophisticis Elenchis. Saya amati bahwa RG kerap amat sangat menerapkan cara berpikir kaum sofis zaman baheula untuk membangun, dan atau membenarkan opininya. Sebab logika lurus, belum tentu: benar (dari sisi isi/ konten pernyataan). Jika tidak cermat dan hati-hati menyimak pernyataannya (hanya kalimat pernyataan yang dapat dinilai salah/benar), orang hanyut dalam arus pikiran yang ia bangun. Tanpa lagi bisa kritis bahwa itu sesat.

Maka infrastruktur. Katakanlah seperti jalan raya (internasional), gerbang darat internasional, pelabuhan internasional dan bandara internasional; tetap vital. Dan ini tidak dijadikannya contoh. Ia gunakan sesat-nalar "pro causa non causa". Ada 14 bangun logical fallacy, selain itu. Jadi, sorry to say: Infrastuktur tetap penting! Bahkan, amat sangat vital. Terutama ketika di tempat itu belum ada. Jangan hanya berpikir Jakarta dan Jawasentris saja!

Akan tetapi, pembangunan perbatasan sebaiknya dengan memperhatikan keadaan alamnya sebagai "paru-paru dunia". Mengapa? Sebab Kalimantan saat ini salah satu cadangan bagi karbon warga dunia karena hitan lindung tropiknya yang luar biasa. Namun, kini kondisinya semakin terancam akibat ekses berlabel "pembangunan" dan industrialisasi.

Baca Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC): Refleksi Dan Inspirasi

Tentu saja, masih segar dalam ingatan kita. Pada awal mula, Program  Presiden RI Terpilih (2014) Joko Widodo salah satu jiwa Nawacita yang dicanangkannya adalah "Membangun Indonesia dari Pinggiran" masih nyata. Lama-lama redup juga. Jika saja IKN diklaim sebagai borongan "Membangun Indonesia dari Pinggiran", ya tidak terlalu tepat juga. Sebab perbatasan dengan negara tetangga, bukan cuma Kalimantan.

Salah satu citra Indonesia yang nyata ada di perbatasan. Itu yang tampak lebih dulu. Jika manusia, itu adalah wajah. Maka Pos Lintas Batas (PLB) menjadi penting dibangun. Bukan hanya untuk perbatasan, namun untuk Indonesia.

Pada masa ketika sebelum merdeka, batas itu disebut area "smokel". Dari kata Belanda, smokelen --akan dinarasikan khusus satu tulisan. Orang-orang kita ke luar, ke Mongkos. Di sana terjadi perdagangan "gelap", transaksi barteran biasa sebenarnya. Namun, tak ada pajak. Maka disebut nyemokel, atau semokel.

Namun, era Orde Baru berkuasa. Nyaris di ujung. PLB Entikong resmi berdiri. Dan sejauh ingatan kita diresmikan --ketika itu-- oleh Panglima ABRI, Jenderal Try Sutrisno. 

Dari dokumen berupa kliping surat kabar yang memberitakan pembukaan PLB Entekong ini diketahui bahwa tujuan utamanya untuk membuka akses antara kedua warga baik Indonesia maupun Sarawak (Malaysia) terutama di wilayah perbatasan untuk kembali menyatu sebagai sesama saudara seasal. Selain itu, untuk semakin meningkatkan kerja sama di berbagai bidang khususnya adat dan budaya, termasuk akselerasi ekonomi. 

Memang pos lintas batas kita, di Entekong, sangat megah. Itu karena Gubernur Cornelis, ketika itu, kawan-rapat dengan Jokowi. "Pusat itu jangan dilawan, dikawan! APBN tidak turun sendirinya ke suatu daerah. Harus dijolok!" terang pria dengan bangun dagu kuat yang kini DPRRI, Komisi II.

Duduk perkara sebenarnya, sama-sama Borneo. Mengapa harga sawit di Sarawak rp4.500, sedangkan di Indonesia hanya rp2. 600?

Sebelum meresmikan pos lintas batas di Kalbar, tiga pos lintas batas selain di Entekong ada di Badau dan Sambas. Terkucur dana pembangunan infrastruktur. Sebagai ujud dari Nawacita: Membangun Indonesia dari pinggiran.

Pos Lintas Batas (PLB) Entekong sungguh megah. Itulah cerminan, wajah Indonesia. Akan tetapi, masih perlu untuk ditingkatkan berbagai aspek yang terkait. Begitu masuk wilayah otorita Malaysia, jalan dua lajur. Mulus.

Tidak pernah mendengar bunyi klakson, seperti di Jakata dan Pontianak. Tidak ada kendaraan saling mendahului satu sama lain. Rumah dan bangunan jauh dari badan jalan. Sampah tidak tampak mengotori. Rapi. Tertib.

Yang lain?

Rumah dan gedung jarang ada yang tinggi sekali.

Dalam hati, kita bertanya-tanya: Sama-sama Borneo. Mengapa bisa berbeda, dalam banyak hal? Dalam hal infrastruktur, layanan publik, pendampingan dan kehadiran negara, pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Termasuk di dalam mengelola aset, keindahan, dan  sumber daya perbatasannya. Terlebih lagi kerja sama di bidang kemanusiaan, seperti kesehatan. Hal yang sangat mendasar bagi warga kedua negara karena selain satu asal, juga bertetangga. 

Baca Ladang Orang Dayak dan Implementasi Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Barat Nomor 1 Tahun 2022

Apakah karena Sarawak-Malaysia dijajah dan dididik orang Inggris? Sementara kita oleh kompeni Hindia Belanda yang sangat pelit memberi alih-teknologi, dan mengekang majunya onderwijs (pendidikan) bagi pribumi?

Atau karena faktor lain?

Soal kecil-besar. Luas sempit. Dan banyak faktor. Dari ekonomi hingga politik. Coba, jawab saja pertanyaan ini: sama-sama Borneo. Mengapa harga sawit di Sarawak rp4.500, sedangkan di Indonesia hanya rp2. 600?

Apanya yang salah? Atau memang karena ada kekuatan luar biasa yang tidak kuasa dikendalikan Negara? 

Hanya hipotesis. Jawaban atas pertanyaan yang mengganggu itu, dua, bahkan tiga saja.

  1. Wilayah Sarawak tidak seluas provinsi di Kalimantan. Juga penduduknya tidak sebanyak tetangga. Kiranya, tidak perlu penjelasan detail. Cukup dengan metafora. Milsanya, seseorang punya lada yang amat sangat luas di Kalbar. Sementara di Jakarta hanya beberapa pohon saja. Perhatian dan perawatannya, pasti berbeda. Jadi, ngurus (orang) banyak dan sedikit itu, berbeda! Berbagi perhatian juga, berbeda. Demikian pula, kue yang harus diiris dan dibagi pun berbeda jumlah dan besarnya.
  2. Kalimantan-Indonesia, jauh dari pusat pemerintahan.
  3. Sarawak adalah Negara Bagian. Berbeda dengan otonomi, yang di satu pihak kepala dilepas, sedangkan di pihah lain, dipegang ekornya.

Sebelum meresmikan pos lintas batas di Kalbar, tiga pos lintas batas selain di Entekong ada di Badau dan Sambas. Terkucur dana pembangunan infrastruktur. Sebagai ujud dari Nawacita: Membangun Indonesia dari pinggiran.

Bagai tikus mati kelaparan dalam lumbung

Metafora itu terlampau kasar. Namun, dengan apa lagikah diumpamakan penduduk (terutama) wilayah perbatasan Kalimantan-Indonesia yang berlimpah SDA tapi tidak menikmatinya? Berpuluh tahun lamanya hasil SDA mereka dkuras orang luar dengan HPH, penguasaan tambang, dan kini lahan untuk perkebunan sawit?


Baca Kaya Batubara, Mengapa Perbatasan Kalimantan Indonesia Krisis Energi?

 

Yang ironi adalah bahwa para peladang tradisional yang nenek moyang mereka sejak berabad lalu berladang, ditangkapi petugas dan diajukan ke meja hijau. Sementara itu, para penduduk setempat yang mengambil kayu di hutan miliknya sendiri dihadang malah dirampas kayunya oleh petugas.


Kehadiran Negara

Hasil bumi dan kekayaan alam Kalimantan juga "tidak kembali" ke daerah untuk pembangunan. Jikapun kembali, maka hanya remah-remahnya saja/ Padahal, daerah tahu persis pendapatan dari daerah yang bersangkutan dibawa ke Jakarta.

Tidak terjadi perputaran modal dan uang di pulau terbesar ketiga dunia itu. Sedemikian rupa, sehingga geliat ekonominya tidak secepat di pula Jawa. Tambahan pula sarana transportasi yang buruk, membuat harga-harga kebutuhan dasar tidak sebanding dengan pendapatan rata-rata penduduk.

 

Agaknya, perjuangan tidak bisa dari luar. Siapa yang peduli nasib kecuali diri sendiri? Nyatanya perjuangan dari dalam telah sedikit banyak mengangkat penduduk dari kungkungan dan aturan yang dibuat dari luar. Padahal mereka pemangku dan pewaris tanah moyangnya.

Dalam novel sejarah Keling Kumang dan Ngayau, dinarasikan bahwa yang peduli nasib Dayak adalah Dayak itu sendiri. Tidak mungkin mengharapkan orang luar Dayak.


Novel Sejarah Keling Kumang Dan Ngayau Di Museum Sarawak


Masyarakat perbatasan menunggu, sekaligus ingin merasakan, kehadiran Negara. Yang sebagaimana saudara tetangga mereka, sungguh merasakan kehadiran Negara, dalam berbagai aspek kehidupan. Untuk urusan kemanusiaan misalnya, terutama di wilayah perbatasan yang sulit utuk dijangkau, Misi masih sudi menguurkan tangan. Tapi hingga kapan? Malah konon kabarnya kegiatan Misi itu semakin dibatasi gerak langkahnya oleh regulasi dalam negeri sendiri.


Masalah ke depan
Perkara besar yang sedang di depan mata warga perbatasan adalah pemindahahan ibu kota negara (IKN) dari Jakarta (Jawa) ke Paser Penajam (Kalimantan Timur). 


Silakan cek di media mainstream dan media sosial seperti apa gejolak dan kekhawatiran yang menghantui serta berkecamuk pada akar rumput. Tidak disertakannya putra-putri penduduk asli, pemangku serta pewaris bumi Borneo di dalam strukrur IKN dan pembangunan --dan ikutannya-- telah menimbulkan rasa kecewa. Tidak ditampakkan keluar, akan tetapi telah menyimpan api dalam sekam. 


Toh beberapa upaya telah dilakukan para tokoh yang mewakili penduduk dan pewaris asli bumi Borneo untuk bernegosiasi. Namun, nasilnya nihill. 
Padahal sebelumnya, Nawacita bagai angin surga yang berembus ke warga perbatasan. Bahwa pembangunan Indonesia mulai dari pinggiran.

Baca Cornelis, Camar Bulan Dan Usulnya Mendirikan Pangkalan Militer


Pada periode pertama, harus diakui, Nawacita punya ujud nyata. Pembangunan beberapa pos lintas batas (PLB) di Kalimantan Barat dan Kalimantan Utara telah menaikkan semangat patriotisme. Sekaligus memantik adanya kebanggaan akan kesamaan harkat dan martabat dengan perekonomian negara tetangga. 


Namun kemudian, carut marut industri sawit yang membuat petani kecewa; kian memunculkan rasa putus asa bahwa nasib akan berpihak pada akar rumput. Semua bermain pada aras kebijakan. Lobi tingkat dewa. Dan sangat jauh dari kepentingan apalagi menyentuh perhidupan akar rumput.


Maka beberapa pertanyaan pun muncul. "Mengapa Malaysia bisa? Mengapa sama-sama punya sumber daya, mereka lebih makmur? Mengapa mereka lebih diperhatikan? Mengapa Negara bisa hadir untuk warganya?"


Ojo dibanding-bandingke! Begitu kata syair sebuah lagu yang sempat viral. Memang menyamakan hal berbeda dan membedakan hal yang sama; itulah ketidakadilan. Tapi membandingkan sesuatu yang A to A, adalah lumrah.

Era smokellen (semokel) memang telah berlalu. Kita berpikir positif saja. Adanya PLB bolehlah dibilang sebagai "hadiah hiburan". Jujur harus diakui, di era Presiden Jokowi, PLB Indonesia jauh lebih bagus lagi megah tampak fisiknya. Ada rasa bangga juga jadi warga Indonesia! 


Jika ditimbang dengan dacin yang tingkat akurasinya tinggi maka sebenarnya jauh lebih banyak manfaat dibukanya PLB keluar-masuk wilayah teritori politik, batas negara, antara Malaysia-Indonesia. Khususnya bagi penduduk perbatasan kedua negara, kerja sama saling menguntungkan dan persaudaraan sejati; bukan hari ini saja terbangun. Jauh hari sebelum kemerdekaan, warga penduduk asli Borneo adalah satu dan sama.


Akan tetapi, tampaknya ekses negatif yang menjadi dampak-ikutan keterbukaan dan apa pun kegiatan atas nama "pembangunan" mau tidak mau harus diantisipasi. Di mana pun, industrialisasi akan memakan korban, yakni masyarakat tradisional.


Baca artikel terkait The Dayak Dilemma


Para pemimpin komunitas/ klan kedua suku asli di wilayah perbatasan Borneo; tampaknya sudah mengantisiasi. Bahkan telah pula berkoordinasi. Mereka tahu apa yang harus dilakukan. Kadang strategi dan taktik, tidak harus dikoar-koarkan. Sebab hanya akan mudah dibaca dan dipatahkan  lawan.


Apa strategi dan taktik itu? 

Ah, seperti tidak tahu saja. Belajarlah dari sejarah. Orang perbatasan, penduduk asli Borneo, selalu bisa mengatasi permasalahan yang menimpa mereka ketika berbagai masalah telah tidak bisa lagi untuk ditoleransi.


Historia docet
. Maka mari kembali ke peribahasa bijak sarat makna ini. "Di mana bumi dipijak di situ langit dijunjung."
 (Rangkaya Bada)

 

Catatan:
[1] Perintah Dwikora ini ada pengantarnya, atau yang menjadi konteksnya oleh sang pemberi perintah yaitu Bung Karno sebagai berikut:

 

Kami/Presiden Pemimpin Besar Revolusi/Panglima Tertinggi dalam rangka perjuangan konfrontasi melawan proyek neo-kolonialis Malaysia yang nyata membahayakan revolusi Indonesia, setelah berulang kali berikhtiar untuk menginsyafkan pihak Malaysia untuk mencapai penyelesaian secara musyawarah dan kekeluargaan Asia, dan nyata pula bahwa ikhtiar ini ditentang dan dijawab dengan penghinaan dan permusuhan, seperti umpananya dengan mobilisasi umum yang dilakukan oleh Tengku Abdul Rahman, maka kami perintahkan:


Pertama: Perhebat ketahanan revolusi Indonesia.

 

Kedua: Bantu perjuangan revolusioner rakyat-rakyat Malaya, Singapura, Sabah, Sarawak dan Borneo untuk memerdekakan diri dan membubarkan negara Malaysia.

LihatTutupKomentar
Cancel